Seperti apa sistem kerja pengampu ini dijalankan di RSUDAM?
Contohnya untuk layanan jantung. Hingga saat ini, kami sudah melakukan 7 operasi jantung terbuka di RSUDAM.
Padahal dulu pasien harus dirujuk ke RS Jantung Harapan Kita di Jakarta dengan adanya layanan ini cukup di Lampung saja.
Kami juga bekerja sama dengan RS Harapan Kita, dan kini bisa melakukan operasi jantung secara mandiri di Lampung.
Bahkan, Oktober lalu kami mendapat bantuan alat kateterisasi dari pusat, sehingga saat ini kami punya dua cath lab aktif.
Masyarakat Lampung kini bisa mendapatkan layanan kateterisasi di sini tanpa perlu ke luar provinsi.
Apa tantangan dalam menjalankan 9 pengampu ini?
Tantangannya tentu besar. Selain menyiapkan SDM yang cukup dan berkualitas, kami juga harus memodernisasi alat, memperbarui fasilitas, dan menyesuaikan infrastruktur.
Hal ini tidak hanya kami lakukan di RSUDAM, tapi juga mendorong agar rumah sakit kabupaten/kota meningkatkan kesiapan mereka. Sinergi dengan pemerintah daerah sangat diperlukan, terutama dalam hal pengadaan alat kesehatan.
Bagaimana kondisi rumah sakit di kabupaten/kota dalam menyambut pengampu ini? Apakah bisa sejajar dengan RSUDAM?
Untuk alat besar, saat ini sudah mulai setara karena dibantu oleh pemerintah pusat melalui program SIREN dari Bank Dunia.
Program ini tidak hanya mengirim alat, tapi juga membiayai pendidikan SDM melalui fellowship.
Jadi rumah sakit di kabupaten/kota hanya perlu menyiapkan tenaga medis, sementara pelatihan dan pembiayaannya ditanggung oleh pusat. Tujuannya agar kualitas layanan dan mutu bisa sama dengan RSUDAM.
Dari 9 layanan pengampu, mana yang paling sering ditemui di Lampung?
Semua layanan menjadi prioritas, namun kanker dan diabetes melitus paling banyak ditemui.