Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung – Stunting merupakan musuh bersama dan ancaman besar bagi masa depan bangsa.
Demikian pernyataan Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela saat membuka kegiatan Penilaian Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pelaksanaan Aksi Konvergensi Penurunan Stunting di Provinsi Lampung di Ruang Rapat Alimudin Bappeda Provinsi Lampung, Kamis (3/7/2025).
Ia menyebut, persoalan stunting bukan semata persoalan gizi, tetapi juga menyangkut masa depan generasi muda Lampung.
“Anak-anak kita adalah calon pemimpin, inovator, dan penggerak pembangunan. Jika stunting tidak ditangani dengan serius, maka yang terganggu bukan hanya tumbuh kembang fisik, tetapi juga kecerdasan, produktivitas, dan daya saing mereka di masa depan,” ujar Jihan dalam keterangannya, Jumat (4/7/2025).
Menurut Jihan, stunting dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) dan merusak peradaban jika dibiarkan terus-menerus.
Ia mengajak seluruh pihak menyamakan persepsi dan komitmen untuk bersama-sama menurunkan angka stunting di Provinsi Lampung.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), angka prevalensi stunting di Provinsi Lampung menunjukkan tren penurunan sejak 2019, yakni dari 26,26 persen menjadi 14,9 persen di tahun 2023.
Lampung pun menjadi provinsi dengan angka stunting terendah keempat di Indonesia.
Namun, pada 2024 terjadi peningkatan menjadi 15,9 persen, atau naik 1 persen dibanding tahun sebelumnya.
Peningkatan signifikan juga terjadi di 10 kabupaten/kota, dengan kenaikan tertinggi mencapai 8,5 persen.
Meski demikian, lima kabupaten berhasil menurunkan angka stunting, yakni Way Kanan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, dan Lampung Barat.
Penurunan tertinggi terjadi di Kabupaten Way Kanan, mencapai 8,8 persen.
“Ini menjadi tantangan kita bersama. Jika tidak ada peningkatan kinerja dan hanya berjalan seperti biasa (business as usual), maka target penurunan stunting akan sulit tercapai,” ujarnya.
Bappenas menargetkan prevalensi stunting Lampung turun menjadi 13,2 persen pada 2025 dan 3,8 persen pada 2045.
Untuk itu, diperlukan intervensi yang konkret dan menyentuh langsung masyarakat, khususnya anak-anak.