Berita Lampung

Petani di Lampung Protes, Singkong Dipatok Rp 1.350 per Kg Tapi Potongannya Puluhan persen 

Meski sudah ditetapkan sebesar Rp 1.350 per kilogram, ternyata praktik di lapangan membuat petani Lampung kecewa.

Editor: soni yuntavia
Istimewa
RAFAKSI 60 PERSEN - Bukti nota pembelian singkong di sebuah perusahaan tapioka di Lampung pada 10 September 2025 lalu dengan rafaksi 60 persen. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Bandar Lampung - Harga singkong di Lampung dinilai masih belum berpihak ke petani.

Meski sudah ditetapkan sebesar Rp 1.350 per kilogram, ternyata praktik di lapangan membuat petani kecewa.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menetapkan kesepakatan harga ubi kayu atau singkong bersama Gubernur Lampung dan sejumlah bupati.

Dalam surat Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan Nomor B-2218/TP.220/C/09/2025 yang ditandatangani Dirjen Judi Sastro, disepakati harga ubi kayu petani dibeli industri Rp 1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen.

Surat tersebut berlaku sejak 9 September 2025. Namun, hingga kini kesepakatan itu belum dijalankan oleh perusahaan tapioka di Lampung.

Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung Dasrul Aswin mengungkapkan, potongan harga singkong sekarang justru mencapai 60 persen.

“Ya, kami tahu soal surat itu. Tapi di Lampung kondisinya masih sama.

Baru tanggal 10 September kemarin, petani di Lampung Timur saat menjual singkong tetap dipotong sampai 60 persen,” kata Dasrul kepada Tribun Lampung, Kamis (11/9).

Ia bahkan mempertanyakan kekuatan surat resmi tersebut karena dianggap tidak berbeda jauh dengan surat kesepakatan sebelumnya.

“Kalau kami baca, hampir sama seperti surat-surat kesepakatan sebelumnya. Jadi tidak ada kekuatan.

Buktinya sejak dulu kesepakatan selalu tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Surat ini kalau kami lihat hanya semacam ‘angin surga’, menyenangkan pembaca tapi tidak berlaku di lapangan,” bebernya.

Dasrul menambahkan, pihaknya sudah berulang kali berupaya berdialog dengan pengusaha, namun selalu menemui jalan buntu.

Padahal, menurutnya, singkong memiliki banyak manfaat mulai dari bahan pangan, energi, hingga pakan ternak.

“Kami ingin ada regulasi yang benar-benar pasti supaya dijalankan.

Selama ini petani rugi. Pernah ada pabrik yang melaksanakan instruksi gubernur dengan harga Rp 1.350 dan potongan 30 persen, tapi akhirnya turun lagi karena tidak ada kepastian,” jelasnya.

Ia menegaskan, petani sering berada pada posisi terjepit karena tetap harus menjual singkong meski harga rendah.

“Ya mau tidak mau dijual dari pada busuk. Tapi jelas petani tidak dapat untung.

Harga Rp 1.350 dengan potongan 15 persen saja tipis sekali untungnya, apalagi kalau potongan lebih besar.

Biaya dari olah lahan, tanam, pupuk, panen, hingga angkut, semua tinggi. Di mana untungnya?” ucap Dasrul.

Terkait kabar sejumlah pabrik tapioka di Lampung tutup, Dasrul memastikan sebenarnya hanya berhenti beroperasi 1-2 hari dan kini tetap berjalan.

Namun, pembelian singkong masih di bawah harga kesepakatan.(ryo)

Diminta Bantu Petani

Anggota Komisi II DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, yang juga Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong, menyambut baik terbitnya surat Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan Nomor B-2218/TP.220/C/09/2025

Dalam surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Judi Sastro itu disepakati bahwa harga ubi kayu petani yang dibeli oleh industri sebesar Rp 1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen. 

Ia berharap surat edaran dari Kementan benar-benar dijalankan oleh seluruh perusahaan agar membantu masyarakat, khususnya petani singkong.

“Surat ini berlaku untuk seluruh Indonesia, jadi jangan ada lagi perusahaan yang membeli di bawah harga kesepakatan,” tegas Mikdar, Selasa (9/9).

Mikdar juga mendorong pemerintah pusat melalui BUMN mendirikan minimal satu pabrik singkong di setiap provinsi yang memiliki komoditas singkong untuk menjaga stabilitas harga.

“Sudah saatnya anak bangsa mengolah hasil pertanian menjadi produk siap saji yang dibutuhkan dan dikonsumsi secara rutin. Apalagi singkong di Lampung sangat melimpah,” ujarnya.

Anggota Fraksi Gerindra ini juga menegaskan agar keran impor benar-benar ditutup supaya harga singkong di dalam negeri bisa bersaing.

Menurutnya, Lampung memiliki potensi besar.

“Lahan kita 600 ribu hektare. Dari satu hektare saja bisa menghasilkan 25 ton. Artinya, kita punya potensi 15 juta ton singkong per tahun dan itu bisa lebih jika pengolahan maksimal,” jelas Mikdar.

Dengan potensi tersebut, ia menilai kebutuhan tapioka nasional bisa terpenuhi tanpa harus membuka keran impor.

“Untuk menghasilkan satu kilogram tapioka dibutuhkan sekitar lima kilogram singkong. Maka dari 15 juta ton singkong, dapat dihasilkan sekitar tiga juta ton tapioka,” tambahnya.(ryo)

( Tribunlampung.co.id

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved