Warga Bakung Raup Rezeki dan Ironi dari Sampah

Masyarakat yang tinggal di sekitaran TPA Bakung mengaku sudah terbiasa dengan aktifitas kendaraan pengangkut sampah dan tinja yang kolar kilir.

Tribunlampung/Sulis
Keluarga pemulung santap siang di tengah tumpukan sampah. 

Terkait operasional IPLT, sebagian masyarakat sekitaran Bakung mengeluhkan rembesan tinja ke lingkungan tempat tinggal.

Salah satu warga Kelurahan Bakung Maryati (42) mengaku keberadaan penampungan limbah tinja di TPA Bakung mencemari lingkungan sekitar. Apalagi saat hujan, tinja meluap dan mencemari permukiman warga yang berada di bawah TPA tersebut.

“Baunya itu sangat menganggu. Dari atas lokasi TPA ngalir ke sini (bawah), airnya cokelat kehitam-hitaman,” kata Maryati di kediamannya.

Warga lainnya Sadiman (37) mengaku, kerap mengalami gatal dan korengan. "Ya gimana kita mandi pakai air bawah tanah itulah yang mungkin sudah tercemar limbah sampah dan tinja," keluh Sadiman.

Berteman Sampah dan Bau

Masyarakat yang tinggal di sekitaran TPA Bakung mengaku sudah terbiasa dengan aktifitas kendaraan pengangkut sampah dan tinja yang kolar kilir setiap harinya melintasi rumah mereka.

Salah satu warga yang rumah tinggalnya berjarak sekitar 3 kilometer dari TPA Rohim (51) mengakui, sudah terbiasa dengan bau sampah dan lalat yang hadir sewaktu-waktu di kediamannya.

Kondisi air yang dekat dengan IPLT dan penampungan sampah disadarinya berpengaruh terhadap kualitas air di rumah. Sehingga tidak berani menggunakannya untuk air minum. "Ya nggak baguslah buat minum kami pakai air galon. Air rumah buat mandi cuci aja," ungkap Rohim.

Keluarga pemulung santap siang di tengah tumpukan sampah
Keluarga pemulung santap siang di tengah tumpukan sampah (Tribunlampung/Sulis)

Tapi diakui Rohim, di luar dampak negatif IPLT dan sampah, dia juga mengais rejeki dari sana. Rohim mengepul botol, tembaga, dan apa saja sesuai permintaan gudang penampung rongsok. Hasilnya memang lumayan.

"Kalau botol harus 2 kwintal dulu baru gudang mau nerima. Ngumpulinnya dari pemulung paling setengah bulan. Terus dijual ke gudang di dekat Lempasing,"terang kakek satu cucu ini.

Terpisah, pemulung TPA Bakung Dina (27) mengatakan, keadaan yang memaksa dirinya menggeluti profesi ini. Bahkan dia memulung sedari kecil bersama orangtuanya. "

Saya dapat suami di sini juga (sesama pemulung). Ini Dinda anak kami umur 3 tahun juga ikut kalau lagi mulung," terangnya sembari mengunyah nasi dan sop tulang sapi. Sementara anaknya asik menikmati makanannya sendiri sembari sesekali menegak air minum.

Tanpa jijik dan peduli dengan bau sampah, keluarga ini menikmati makanannya sembari melepas lelah usai memulung. Suaminya Sunan (28) mengatakan, mereka tidak tinggal di lokasi TPA, melainkan ngontrak di Pekon Ampay Telukbetung Barat.

Menurutnya, ada puluhan keluarga yang tinggal di gubuk-gubuk sekitaran TPA. "Sebagian pemulung warga sekitaran Bakung, tapi ada juga yang dari Way Kanan dan Bunga Mayang Lampung Utara," aku Sunan.

Dalam sehari, setidaknya ia dan istri bisa membawa pulang uang hasil penjualan rongsokan Rp25ribu sampai Rp50ribu. "Ya mau bagaimana daripada nganggur, nggak punya kemampuan kerja kantoran," tuturnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved