Tribun Bandar Lampung
Buntut Pemilihan Raya BEM UIN Raden Intan: Mahasiswa Saling Lempar Kursi, 10 Orang Luka-luka
Kericuhan terjadi di kampus Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Rabu (28/11/2018) pagi.
Terkait peristiwa mahasiswa UIN Raden Intan bentrok ini, pihak Rektorat UIN berupaya memediasi dua kubu mahasiswa yang berseberangan. Rektorat pun meminta penghentian sementara aktivitas pemira.
"Untuk sementara, rektorat meminta pemira dihentikan dulu. Rektorat melalui Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan akan memanggil pihak panitia untuk dimintai kronologinya," kata Kepala Subbagian Hubungan Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Hayatul Islam.
Hayatul membenarkan ada sejumlah mahasiswa yang terluka akibat kericuhan.
"Sudah diproses secara hukum," imbuhnya.
Dugaan Penggelembungan Suara
Dalam Pemira BEM UIN Raden Intan tersebut, mencuat dugaan penggelembungan suara. Mirhasan, anggota tim pemenangan salah satu capres-cawapres mahasiswa, mengungkapkan, penggelembungan suara diduga dilakukan dengan cara memanipulasi slip pembayaran sebagai syarat mencoblos.
"Seharusnya, mahasiswa menyertakan slip pembayaran sekali saja untuk mencoblos. Bukannya berulang kali. Malah ada yang ambil slip mahasiswa lainnya untuk mencoblos lagi," bebernya saat diwawancarai awak media di depan Gedung Rektorat UIN Raden Intan.
Kedepankan Akal, Jangan Emosional
Kericuhan antarmahasiswa terkait pemilihan pemimpin lembaga kemahasiswaan di UIN Raden Intan, menurut Karwono dari Dewan Pendidikan Lampung, telah mencoreng dunia pendidikan di Lampung.
Ia menjelaskan, demokrasi pada prinsipnya hanyalah alat, bukan tujuan.
"Sebenarnya, apa yang ingin mereka capai dari pelaksanaan pemilihan tersebut? Ini menjadi problem. Ketika ingin mencapai suatu kebenaran, maka sepatutnya menggunakan langkah-langkah yang benar," katanya.
Karwono menilai, kampus sebenarnya bukan tempat ajang politik praktis.
"Boleh saja belajar teori politik dan menerapkannya di kampus. Namun, jika sudah berpolitik praktis, seyogianya bukan di kampus," ujarnya. "Sama halnya dengan belajar teori sepak bola di kelas, tetapi tempat untuk bermain sepak bola bukanlah di kelas."
Pihaknya mengimbau mahasiswa berpikir secara rasional tanpa mengedepankan emosional.
"Jika menonjolkan emosional, bukan akal, maka akan sulit menerima suatu kebenaran. Walaupun ada perbedaan, mahasiswa sepatutnya mengambil langkah-langkah yang baik untuk untuk mencapai kata sepakat. Bukannya melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu," sesalnya.
"Lingkungan kampus seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat. Bahwa, tatanan kehidupan yang ilmiah itu tercapai melalui suatu proses dan tahapan-tahapan yang baik," imbuh Karwono.