Nobar Film Dibubarkan Paksa
Fakta-fakta Nobar Film Kucumbu Tubuh Indahku Dibubarkan Paksa FPI Bandar Lampung
Berikut, fakta-fakta nobar film Kucumbu Tubuh Indahku yang dibubarkan paksa FPI Bandar Lampung.
2. DKL Buka Suara
Pengurus DKL, Hermansyah GA saat dimintai keterangan oleh awak media, Selasa, 12 November 2019.
Terkait pencekalan pemutaran film Garin Nugroho berjudul Kucumbu Tubuh Indahku, Dewan Kesenian Lampung (DKL) buka suara.
Gelaran nonton bareng film Kucumbu Tubuh Indahku yang digagas Klub Nonton Lampung di gedung Dewan Kesenian Lampung (DKL) di kawasan PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Selasa (12/11/2019) sore, dibubarkan paksa oleh belasan massa dari FPI Bandar Lampung.
Pengurus DKL, Hermansyah GA mengatakan, FPI Bandar Lampung tidak harus mengambil sikap frontal, dengan membubarkan film yang tengah diputar.
"FPI jangan langsung mengambil sikap. Dia harus tahu dulu, harus pelajari dulu, kenapa film ini dilarang?" kata Hermansyah, Selasa (12/11/2019) sore.
Hermansyah menegaskan, ketika FPI menuduh sebuah film mengandung unsur pornografi atau LGBT dan sebagainya, pihak FPI seharusnya melihat terlebih dahulu filmnya.
"DKL ini punya gedung pertunjukan, siapapun bisa pakai."
"Ini yang memutar film dari komunitas penonton film, ya silakan. Jangankan komunitas penonton film, siapapun bisa pakai untuk pertunjukan seni," tegas Hermansyah.
Terkait film Kucumbu Tubuh Indahku, secara pribadi, Hermansyah menilai film Garin Nugroho itu memang sedikit nyeleneh dari sisi judulnya.
• Video Detik-detik Nobar Film Kucumbu Tubuh Indahku Dibubarkan FPI Bandar Lampung
"Kalau melihat dari sisi judul, film Garin ini memang sedikit nyeleneh. Tetapi maksudnya menikmati tubuhku itu adalah menikmati gerakan dia menari."
"Seluruh gerakan tari saya keluar dari tubuh saya. Bahkan, film ini sampai masuk nominasi Oscar," jelas Hermansyah.
Anggota Komite Film DKL, Dede Safara Wijaya menambahkan, alasan film ini diputar di gedung DKL karena sebagai ruang apresiasi kawan-kawan seniman untuk melihat kualitas film tersebut.
"Kami mencoba membangun sebagai ruang apresiasi, tidak ada embel-embel untuk hal lain yang negatif," jelas Dede Safara Wijaya.