Fakta Baru Kasus Suap Lampung Utara, Pamen Polisi Perintah Hilangkan Barang Bukti
Setelah penyerahan itu, Minggu, 6 Oktober 2019, dia mendapat kabar dari Eko Mei untuk mematikan HP dan menghilangkan barang bukti.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Sejumlah fakta baru terungkap dalam sidang perkara dugaan suap fee proyek Kabupaten Lampung Utara yang melibatkan bupati nonaktif Agung Ilmu Mangkunegara di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Senin (16/3/2020).
Salah satu saksi yang dihadirkan yakni Fria Apris Pratama selaku bendahara dan keuangan Dinas PUPR dari tahun 2015 hingga 2017 mengungkapkan bahwa saat operasi tangkap tangan (OTT) dirinya mendapat arahan untuk menghilangkan barang bukti.
Tak tanggung-tanggung arahan ini langsung diberikan oleh salah seorang perwira menengah (pamen) polisi.
Fria mengaku, ada pemberian rutin ke aparat penegak hukum Polda Lampung.
• Pencairan Anggaran Proyek Dinas PUPR Lampura Dipotong 5 Persen, Fria: Disetor ke Bupati Agung
• BREAKING NEWS Sederet Pejabat Dinas PUPR Lampung Utara Jadi Saksi Sidang Bupati Agung
"(Tahun) 2017, Pak Kasubdit Eko Mei, bulan Januari Rp 40 juta, Mei Rp 70 juta, dan Agustus Rp 35 juta," kata Fria.
Bahkan pada tahun 2019, Fria mengaku ada pertemuan lagi dengan Eko Mei untuk menyerahkan uang rutin atas perintah Kadis PUPR Lampung Utara Syahbudin di Hotel Grand Anugrah, Bandar Lampung.
"Sekitar jam 12.00 WIB, Pak Syahbudin bertemu dengan Pak Eko Mei di Hotel Grand Anugerah," sebutnya.
Setelah penyerahan itu, Minggu, 6 Oktober 2019, dia mendapat kabar dari Eko Mei untuk mematikan HP dan menghilangkan barang bukti.
"Saya pas di Pringsewu sekitar pukul 19.00 WIB, pas OTT, Pak Eko Mei telepon dan diminta untuk mematikan hp tapi dengan kode Kopiko, dia bilang segera matikan hp, 'Kopiko sudah dekat'," kata Fria.
"Apa itu Kopiko?" tanya JPU KPK Taufiq dalam sidang.
"Istilah untuk KPK," jawab Fria enteng yang disambut tawa pengunjung sidang.
Setelah itu, Fria pun langsung menghubungi Syahbudin namun tak diangkat. Kemudian ia telepon sopir pribadi Syabudin untuk sampaikan pesan.
"Lalu saya hubungi Susilo Dwiko (Sekretaris PUPR), saya sampaikan kalau saya dihubungi pak Eko, kalau Kopiko untit dia dan segera pecahin HP," tuturnya.
Kata Fria, setelah itu ia matikan hp dan masukkan ke dalam tas beserta dua buku agenda catatan fee.
"Saya terus telpon adik saya untuk barang (bukti) tersebut disingkirkan itu jam 21.00 wib, besoknya HP laptop dibawa adek, dan jam 1 KPK datang ke rumah ibu saya dan saya ditelpon ibu kalau ada tamu KPK datang," sebutnya.
Selain Fria, ada 7 orang saksi lain yang dihadirkan dalam sidang kemarin.
Fria juga mengungkapkan jika dirinya mencatat penerimaan fee dari tahun 2015-2017.
Ia juga mencatat beberapa penerimaan fee yang diambil oleh anggota dinas PUPR di buku agendanya.
"Seperti Helmi Kasi Alat Berat, Eko Erzal Sraf Cipta Karya, Mangku Alam Kasi Perencanaan, Syahbudin juga," tutur Fria.
Sementara pada tahun 2018, Fria mengaku sudah ikut campur dalam plotting proyek dan fee proyek lantaran diambil alih oleh Plt Bupati Lampura Sri Widodo.
Untuk potongan fee proyek fisik sebesar 20 persen dan nonfisik sebesar 35 persen.
"Dan saya hanya mencatat yang mendekte pak Syahbudin. Dimana pengaturan fee dimulai dari nama teratas, misalnya nama rekanan nomor satu dia menyerahkan fee Rp 50 juta, maka itu mendaoatkan nilai pekerjaan Rp 250 juta," sebutnya.
Fria pun mengaku sejak tahun 2015 ada fee 20 persen setiap paket proyek, yang mana disetorkan dahulu ke Syahbudin kemudian ke Agung Ilmu Mangkunegara.
"Awalnya disetor ke saya lalu setor ke Syahbudin kemudian Agung," katanya.
"Jadi ini catatan Anda dari 2015, yang mana total pekerjaan Rp 184 miliar dan fee-nya sebesar Rp 36 miliar, benar ya?" tanya Taufiq.
"Benar tapi fee itu perkiraan saja, dan saya hanya terima (pengumpulan) Rp 1 miliar," tuturnya.
Fria pun menuturkan untuk tahun 2016 ia juga bertugas mengumpulkan fee dari rekanan sebesar Rp 1 miliar, dan sisanya melalui Taufik Hidayat, Akbar Tandi Irian, dan Syahbudin.
"Tahun 2016 Ada dicatatan semua, total pagu Rp 336 miliar, total fee Rp 67 miliar," kata Fria. Untuk tahun 2017, Fria sendiri mengaku ada total pagu proyek sebesar Rp 407 dengan total fee Rp 81 miliar. "Dan saya hanya terima dari rekanan sebesar Rp 7,61 miliar," kata Fria.
"Terus selain kamu yang mengumpulkan siapa saja?" tanya JPU KPK Taufiq.
"Seingat saya, Erzal sebesar Rp 4,9 miliar, Mangku Alam Rp 7,8 miliar, Helmi Jaya Rp 4,7 miliar, Syahbudin 6,3 milar, Karnadni Rp 784 juta, Susilo Dwiko Rp 540 juta, Franstori Rp 34 juta, Gunaido Rp 200 juta, Amrul Rp 106 juta, Ansabak Rp 900 juta, Ika (orang dinas PUPR) Rp 70 juta, Sairul Haniba Rp 40 juta, Yulias Dwiantoro Rp 569,5 juta," sebutnya.
Fria pun mengaku selain pengambilan fee proyek tersebut ia juga mengambil fee sebesar Rp 1,32 miliar untuk pekerjaan tahun 2018.
"Tapi sampai sekarang yang saya ambil fee gak dapat pekerjaan karena tidak dikelola Syahbudin," sebut Fria.
Fria menambahkan tahun 2018 ia tak mengambil fee lagi lantaran Kadis PUPR dijabat oleh Franstori.
"Kalau 2019, total nilai 88 miliar, fee Rp 11 miliar dan saat itu yang bertugas Helmi Jaya, kalau saya mengumpulan hanya Rp 238 juta," tandasnya. (Tribunlampung.co.id/Hanif Mustafa)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lampung/foto/bank/originals/mantan-kabid-bina-marga-pupr-lampura-ungkap-aliran-dana-ke-penegak-hukum.jpg)