Cerita Warga Bandar Lampung Berpuasa di UK, Rilda Tak Bisa Dapatkan Cincau Akibat Pandemi Corona
Perbedaan waktu, cuaca, budaya, makanan, menjadi tantangan tersendiri berpuasa di luar negeri.
Penulis: sulis setia markhamah | Editor: Reny Fitriani
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID. BANDAR LAMPUNG - Menjalankan ibadah Ramadan di luar negeri tentu berbeda dengan di Indonesia.
Perbedaan waktu, cuaca, budaya, makanan, menjadi tantangan tersendiri berpuasa di luar negeri.
Seperti apa cerita warga Bandar Lampung yang menjalankan ibadah puasa di luar negeri?
Rilda A Oe Taneko, warga Perumahan Komplek Dosen Unila, Bandar Lampung yang sudah tinggal di United Kingdom (UK) sejak 11 tahun silam menceritakan, tahun ini puasa jatuh di musim semi.
Sehingga waktu puasa dirasa lebih panjang mencapai 17 jam lebih.
• Kisah Warga Bandar Lampung Berpuasa di Amerika Serikat Saat Wabah Corona Melanda
• Kisah Nenek Renta di Lamteng, Hidup Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Makan Dibantu Tetangga
• Polres Lampura Distribusikan Alat Semprot, Cairan Disinfektan dan APD Kepada Polsek Jajaran
• Kuras Harta Korbannya hingga Rp 60 Juta, 1 Pelaku Bobol Toko Ngaku Hanya Dapat Bagian Rp 1,8 Juta
"Di UK tahun ini puasa jatuh di musim semi, waktu puasa lumayan panjang di musim semi," bebernya kepada Tribunlampung.co.id, Kamis (29/4/2020) siang dimana di tempatnya masih pagi hari.
Rilda membeberkan, perbedaan waktu antara Indonesia dengan UK atau Britania Raya adalah 6 jam.
Mengenai situasi akibat pandemi Corona, tidak ada lagi salat berjamaah di masjid atau berbuka puasa bersama.
Semua masjid dan rumah ibadah agama lain pun ditutup.
"Berbeda dengan Ramadan sebelumnya, tahun ini tidak ada salat berjamaah. Ada aturan untuk tidak saling mengunjungi, bahkan dengan orangtua dan saudara sendiri," tutur alumni S1 Sosiologi Unila ini.
Bahkan banyak masjid yang menggalang bantuan makanan untuk yang membutuhkan, bisa berupa makanan tahan lama atau transfer uang.
Masyarakat hanya boleh keluar rumah untuk hal-hal penting seperti membeli obat-obatan, makanan dan kebutuhan pokok, olahraga, dan mengurus orang yang memerlukan.
"KBRI London menggelar pengajian dan secara ceramah online," ceritanya.
Sebelum pandemi, perempuan yang pernah tinggal di Belanda selama 3 tahun lebih ini biasanya melakukan belanja kebutuhan rumah rutin tiap minggu.
"Sekarang sekali dalam dua minggu, untuk mengurangi keluar rumah. Antrean physical distancing 2 meter antar orang di supermarket juga panjang," kata lulusan pascasarjana Erasmus University itu.
Bahkan akibat pandemi, kini dirinya tidak bisa lagi mendapatkan cincau dan kolang-kaling karena persediaannya di toko Asia kosong.
Rilda begitu merindukan Lampung.
Terutama keluarga dan juga makanannya.
"Yang dirindukan dari Lampung banyaaak. Rindu kumpul dengan keluarga, teman-teman, juga makanannya," tuturnya.
Rilda ingin sekali menyantap nasi Begadang, nasi uduk Toha, mie Koga, pempek Kupang atau Nori, bakso Sony, sate dan siomay Pahoman, hingga pindang Cek Mat Panjang.
Di UK sendiri diakuinya sudah menerapkan lockdown sejak 23 Maret 2020.
Jadi hampir semua orang di rumah saja, kecuali pekerja sektor vital.
"Masyarakat hanya boleh berinteraksi dengan orang-orang yang tinggal satu rumah," kata perempuan kelahiran Bandar Lampung ini.
Masyarakat dilarang berkerumun.
Jika aturan ini dilanggar, polisi akan memberi hukuman.
Lockdown di UK diprediksi akan sampai akhir tahun.
Ini karena angka penyebaran kasus dan angka kematian per hari di UK tinggi.
Sejak Maret, total orang meninggal dunia sekitar 25 ribu jiwa.
"Penyebaran Covid sangat cepat di pertengahan Maret, ketika liburan tengah semester. Jadi pergerakan orang dari dalam dan luar UK sangat pesat," paparnya.
Rilda begitu merasakan suasana aktivitas rumah sakit yang semakin sibuk akibat wabah ini.
Terlebih dirinya tinggal di pusat kota di Lancaster, sebelah utara Inggris dekat dengan Manchester dan Liverpool, dimana kediamannya ada di seberang rumah sakit.
"Jadi tetangga sebelah dan depan dokter. Tiap hari dengar sirine ambulans," tutur penulis novel ini.
Berpuasa di situasi seperti ini, dia berharap agar wabah bisa lekas berakhir tanpa perlu menambah banyak korban lagi.
"Semoga kita semua bisa bertambah kuat dan sabar menghadapi kehidupan. Bisa jadi lebih baik dan bijak dalam berinteraksi dengan alam," ucap penulis kumpulan cerpen Kereta Pagi Menuju Den Haag itu.
Meskipun harus berjauhan secara fisik, menurutnya masyarakat tetap harus menjadi mahluk sosial yang memiliki solidaritas dan kepedulian tinggi pada sesama.
Saat ditanya apakah ingin kembali tinggal di Lampung, Rilda mengaku begitu merindukan Lampung meskipun untuk saat ini masih ingin menetap di Lancaster.
"Untuk sementara menetap di sini dulu. Tapi keinginan untuk pulang pasti selalu ada," tutupnya.(Tribunlampung.co.id/ Sulis Setia M)