Nasib ABK Indonesia di Kapal China, Makan Umpan Ikan hingga Fakta 4 ABK Meninggal
Sebanyak 5 orang anak buah kapal atau ABK Indonesia yang bekerja di kapal China Long Xing 629 bercerita mengenai pengalaman mereka bekerja di kapal.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Sebanyak 5 orang anak buah kapal atau ABK Indonesia yang bekerja di kapal China Long Xing 629 bercerita mengenai pengalaman mereka bekerja di kapal itu.
Hal tersebut disampaikan kepada BBC News Indonesia sebagaimana dilansir Kompas.com.
Mereka dan sembilan ABK Indonesia lainnya kini ada di Busan, Korea Selatan.
Mereka dijadwalkan untuk kembali pulang ke Indonesia Jumat (8/5/2020).
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebelumnya mengumumkan empat dari ABK yang bekerja di kapal itu meninggal dunia.
• Heboh Jasad ABK Indonesia Dibuang ke Laut, Begini Kata China
• Kru Kapal China Buang Jenazah ABK Asal Indonesia ke Laut, Videonya Dibahas Televisi Korea Selatan
• Polisi Ancam Tindak Tegas Ferdian Paleka Jika Tak Serahkan Diri
• Menteri Muhadjir Tegur Keras Anies Baswedan Saat Rapat yang Dipimpin Jokowi
Tiga dikuburkan di laut (dilarung).
Sementara, satu orang meninggal dunia di satu fasilitas kesehatan di Busan.

Pemerintah Indonesia meminta pemerintah China menyelidiki kasus tersebut dan meminta perusahaan kapal itu bertanggung jawab.
Kasus itu juga tengah diselidiki aparat keamanan di Korea Selatan.
Berikut, cerita 5 ABK Indonesia tersebut sebagaimana dilansir Kompas.com.
1. Tidur hanya tiga jam
Salah satu ABK Indonesia itu, BR, mengatakan, ia tidak mampu bekerja di atas kapal ikan berbendera China tersebut.
Hal itu karena jam kerjanya yang di luar batas.
"Bekerja terus, buat makan (hanya dapat waktu) sekitar 10 menit dan 15 menit. Kami bekerja mulai jam 11 siang sampai jam 4 dan 5 pagi," ujarnya dalam wawancara melalui video online, Kamis (7/5/2020).
"Setiap hari begitu."
Rekannya, MY (20) mengatakan hal serupa.
Pria lulusan SMK di Kepulauan Natuna, Riau itu, acap kali "hanya tidur tiga jam".
Sisanya, ia membanting tulang mencari ikan.
"Kalau kita ngeburu kerjaan (mencari ikan), kadang kita tidur cuma tiga jam," ungkapnya.
Mereka mengatakan, kapten kapal mengharuskan pada ABK Indonesia mencapai "target" ikan dalam jumlah tertentu setiap harinya.
"Mau protes, susah sekali, kita di tengah laut," kata BR.
Sejumlah ABK mengatakan, kontrak kerja mereka tidak mengatur soal jam kerja.
RV (27) asal Ambon, Maluku, adalah salah satunya.
"Tidak tertulis soal jam kerja, jadi baru diatur oleh kapten kapal saat di laut," ujar RV.
Namun, ada juga ABK Indonesia, yang diberangkatkan agen lain, yang jam kerjanya diatur di kontrak.
Beberapa sempat menanyakan soal jam kerja, namun tidak berlanjut, karena mengaku "takut dipulangkan".
Meski bekerja membanting tulang, sejumlah ABK itu mengaku gaji mereka belum dibayar.

2. Makan umpan ikan, minum sulingan air laut
Tidak hanya masalah jam kerja yang di luar batas, NA (20) anak buah kapal Long Xin 629 asal Makasar, Sulsel, mengaku 'dianaktirikan' soal makan dan minum.
Menurutnya, ABK yang non-Indonesia mendapat jatah makanan yang "lebih bergizi" ketimbang mereka.
"Kita dibedain dengan orang dia."
Di dalam kapal penangkap ikan itu, awalnya ada 20 ABK WNI dan sekitar enam orang adalah ABK asal China.
"Air minumnya, kalau dia minum air mineral, kalau kami minum air sulingan dari air laut," ungkap NA.
"Kalau makanan, mereka makan yang segar-segar...," kata NA.
KR (19) asal Manado, menambahkan, "Mereka makan enak-enak, kalau kami seringkali makan ikan yang biasanya buat umpan itu."
3. Melepaskan jenazah
Pengalaman pahit yang sulit mereka lupakan adalah ketika harus melarung empat jenazah rekannya ke lautan lepas.
Upaya mereka agar jenazah "disimpan" di ruang berpendingin, dan kelak dikubur "secara layak" di daratan, ditolak kapten kapal.
Mereka berulang-ulang meminta kepada kapten kapal agar jenazah rekan mereka itu dikubur saat kapal berlabuh.
"Kami sudah ngotot, tapi kami tidak bisa memaksa, wewenang dari dia (kapten kapal) semua," kata NA.
"Mereka beralasan, kalau mayat dibawa ke daratan, semua negara akan menolaknya," kata NA menirukan jawaban kapten kapal.
Dihadapkan kenyataan pahit seperti itu, NA dan rekan-rekannya yang beragama Islam, akhirnya hanya bisa memandikan dan menshalati jenazah rekan-rekannya.
"Kami mandikan, salati dan baru 'dibuang'," ungkapnya.
MY mengatakan, hal itu melanggar kontrak ABK.
"Karena di perjanjian awal, (jenazah) ABK bisa dipulangkan."
3. Minta pemerintah gugat
Baik RV, BR maupun KR, MY maupun NA, sepakat bahwa pemerintah Indonesia harus melakukan gugatan hukum kepada pemilik kapal asing.
"Agar kejadian ini tidak terulang lagi," ujar mereka.
Sementara, MY dan NA berharap pengalaman buruk mereka di atas kapal Long Xin 629 tidak dialami warga Indonesia yang tertarik untuk "melaut".
Untuk itulah, mereka mengharapkan agar perusahaan yang mengirimkan calon ABK agar lebih memperhatikan soal hak-hak mereka sebagai ABK.
"Kita kan sudah ada perjanjian, dan ada pelanggaran kayak gini. Kita maunya perusahaan (yang mengirimkan mereka) bersikap lebih tegas," kata MY.
4. ABK, pekerjaan berisiko tinggi
Koordinator ILO Asia Tenggara untuk Proyek Perikanan, Abdul Hakim mengatakan, para pekerja berhak tahu rincian pekerjaan mereka, seperti jam kerja, di kontrak awal.
"Itu pelanggaran," kata Abdul menanggapi pengakuan sejumlah ABK Indonesia yang mengaku kontrak kerja mereka tak ada keterangan itu.
Ia mengatakan harusnya jam kerja hingga hak-hak pekerja untuk beristirahat dicantumkan di kontrak kerja.
Konvensi ILO No 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, kata Abdul, mengatur ABK berhak beristirahat selama 10 jam sehari pada kapal yang tetap di laut selama tiga hari.
"Problemnya (dalam kasus ini) ada di soal kelelahan, keletihan, dan tidak terjaminnya masa istirahat," ujar Abdul.
Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, ABK di kapal ikan termasuk pekerjaan yang berisiko tinggi.
Ia mengatakan, masalah seperti ini, harus diselesaikan dari hulu.
"(Pemerintah) mendorong pengawasan lebih ketat terhadap penyusunan perjanjian kerja laut antara awak kapal dengan pihak pemilik kapal sehingga tidak ada klausul yang merugikan hak-hak awak kapal," ujar Retno Marsudi.
"Mendorong penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang memberangkatkan awak kapal tanpa melalui prosedur."
"Pelaksanaan hukuman perlu dikedepankan berdasarkan UU 21/2007 tentang tindak pidana perdagangan orang."
Dalam konferensi pers secara daring pada Kamis (7/5/2020), Retno mengatakan, pihaknya telah mengadakan komunikasi dengan Dubes Tiongkok terkait kasus itu.
Salah satu yang dituntutnya adalah tanggung jawab dari perusahaan China yang mempekerjakan para ABK.
"Meminta dukungan pemerintah Tiongkok untuk membantu pemenuhan tanggung jawab perusahaan atas hak para awak kapal Indonesia, termasuk pembayaran gaji yang belum dibayarkan dan kondisi kerja yang aman," ujarnya.
Retno mengatakan, pemerintah China mengklaim, mereka akan memastikan agar perusahaan kapal China itu bertanggung jawab untuk mematuhi hukum yang berlaku dan kontrak yang sudah disepakati.
Namun, Retno mengatakan pelarungan jenazah ABK Indonesia sudah sesuai dengan standar yang diterapkan ILO.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah ABK Indonesia di Kapal China, Tidur Hanya 3 Jam dan Makan "Umpan Ikan".
Sebanyak 5 orang ABK Indonesia yang bekerja di kapal China Long Xing 629 bercerita mengenai pengalaman mereka bekerja di kapal itu. (Kompas.com)