Cerita Jenderal Polisi Hoegeng yang Rajin Bikin Catatan Harian

Cerita Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang rajin buat catatan harian. Jenderal Polisi Hoegeng lolos dari fitnah.

Dok. KOMPAS/Istimewa
Ilustrasi Mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso. 

Jenderal Hoegeng merupakan sosok yang dikenal karena integritasnya.

Karakternya yang tegas dan teguh menjaga kehormatan ini juga terukir berkat guyonan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Gus Dur mengatakan, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.

Baru-baru ini, guyonan Gus Dur itu kembali ramai dibicarakan setelah ada netizen yang sempat diperiksa polisi karena menulis pernyataan Gus Dur itu di akun media sosialnya.

Mengutip Harian Kompas, Gus Dur saat itu sedang menyinggung upaya pemberantasan korupsi pasca-Reformasi 1998.

Apalagi, Polri menjadi salah satu institusi yang diharapkan segera berbenah untuk menghadirkan citra yang lebih baik di masyarakat.

Lalu, seperti apa sosok Hoegeng Iman Santoso hingga begitu membekas dalam benak seorang Gus Dur?

Sepenggal kisah kejujuran Jenderal Hoegeng ditulis dengan baik oleh sejarawan Asvi Warman Adam di Harian Kompas pada 1 Juli 2004, tepat saat Hari Bhayangkara.

Asvi menulis, integritas Jenderal Hoegeng didapat sebagai bentuk penghormatan untuk sang ayah, yaitu Sukario Hatmodjo, kepala kejaksaan di Pekalongan.

Hoegeng yang memiliki nama lahir Iman Santoso ini mengagumi sang ayah, yang bersama dua rekannya menjadi trio penegak hukum di kota itu.

Dua orang lainnya adalah kepala polisi Ating Natadikusumah dan ketua pengadilan Soeprapto.

Secara khusus, Hoegeng kecil, yang kerap dipanggil bugel (gemuk), dan lama-kelamaan berubah menjadi "bugeng" hingga menjadi "hugeng", mengagumi Ating yang gagah dan suka menolong orang.

Kekaguman itu membawa Hoegeng menjadi polisi.

Setelah lulus PTIK pada 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur.

Namun, integritasnya diuji saat menjadi kepala reskrim di Sumatera Utara.

Saat itu, Hoegeng menolak rumah pribadi dan mobil yang disediakan cukong judi.

Hoegeng memilih tinggal di hotel hingga kemudian dia mendapat rumah dinas.

Setelah mendapat rumah dinas, dia juga menolak rumah itu diisi dengan segala macam perabot pemberian orang, yang dianggapnya sebagai bentuk suap.

Saat pemberi perabot itu tidak mau menerima pengembalian barang itu, Hoegeng tetap mengeluarkannya dari rumah dinas dan menaruhnya di pinggir jalan.

Seusai bertugas di Medan, dia ditempatkan di Jakarta.

Untuk sementara, perwira polisi itu bahkan rela tinggal di garasi rumah mertuanya di Menteng.

Dicopot Soeharto

Berbagai jabatan kemudian dipercayakan kepadanya, hingga akhirnya dia dipercaya sebagai Kapolri periode 1968-1971, di masa-masa awal Pemerintahan Presiden Soeharto.

Menurut Asvi, dalam tulisannya, sejumlah kasus besar terjadi di masa kepemimpinannya.

Kasus yang menarik perhatian publik antara lain pemerkosaan Sum Kuning, yang diduga melibatkan anak pejabat, penyelundup Robby Tjahyadi yang di-backing pejabat, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh taruna Akpol.

Jenderal Hoegeng digambarkan begitu bersikeras untuk menuntaskan kasus-kasus itu.

Namun, dalam tulisan Asvi Warman Adam, keuletan itu membuat dia kemudian diberhentikan oleh Soeharto sebagai Kapolri.

Dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2013) yang ditulis Suhartono, bahkan disebutkan bahwa Hoegeng sempat ingin melapor kepada Presiden Soeharto terkait penangkapan Robby Tjahyadi.

Namun, alangkah kagetnya Hoegeng saat melihat orang yang akan ditangkap itu, sudah lebih dulu berada di Jalan Cendana, kediaman Soeharto.

"Dengan segala pertimbangan, saya akhirnya balik badan dan tidak jadi melapor ke Presiden," tutur Hoegeng.

Soeharto mengganti Hoegeng dengan alasan butuh penyegaran di tubuh kepolisian.

Tetapi, fakta yang terjadi adalah Jenderal Polisi Mohamad Hasan yang ditunjuk Soeharto sebagai Kapolri saat itu berusia 53 tahun, ketika Hoegeng masih  berusia 49 tahun.

Meski tidak memiliki jabatan, Hoegeng tetap menjadi figur yang dihormati masyarakat.

Dia juga kritis terhadap pemerintahan, terutama saat tergabung dalam kelompok Petisi 50.

Lalu, apa yang membuat Jenderal Hoegeng dikenal sebagai tokoh yang bersih dan antikorupsi?

Salah satunya adalah pendirian yang ditanamkan oleh ayahnya mengenai nama baik dan kehormatan: "Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan."

Ayah Hoegeng tidak sekadar memberi nasihat, tetapi bersama para sahabat ayahnya memberi teladan.

Ayahnya seorang birokrat Belanda yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Cerita Jenderal Hoegeng Lolos dari Fitnah Berkat Catatan Harian.

TONTON JUGA:

Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso tutup usia pada 14 Juli 2004. Hingga kini, Jenderal Polisi Hoegeng dikenal luas sebagai pejabat yang tegas, jujur, dan berintegritas. (Kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved