Eksklusif Tribun Lampung
Kisah Siswa di Bandar Lampung Demi Ikut Belajar Daring, Jualan Mi Tek-tek hingga Pempek
Sistem belajar secara online atau dalam jaringan (daring) selama pandemi Covid-19 telah menimbulkan dilema bagi siswa dan orangtuanya.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Sistem belajar secara online atau dalam jaringan (daring) selama pandemi Covid-19 telah menimbulkan dilema bagi siswa dan orangtuanya.
Keharusan memakai ponsel pintar dan menggunakan paket internet membuat mereka yang tidak mampu secara perekonomian mesti pontang-panting mencari uang tambahan.
Sapta Budiharta, siswi jurusan Pendidikan Teknis Komputer Jaringan di SMK Air Langga, Kecamatan Kota Agung Timur, Tanggamus, misalnya.
Ia terpaksa ikut berjualan mi tektek bersama kakaknya demi membeli pulsa dan paket internet.
• GP Ansor Lampung Sediakan 45 Titik WiFi Gratis untuk Siswa Belajar Daring
• BREAKING NEWS Wakil Bupati Way Kanan Edward Antony Meninggal Dunia
• Postingan Menyentuh Bupati Way Kanan sebelum Edward Antony Meninggal: Saya Tunggu di Rumah Kita
• Ucapan Bela Sungkawa Meninggalnya Wabup Edward Anthony Mengalir di Medsos
"Kuota internet harus selalu ada. Soalnya, sehari aja nggak balas chatting untuk absen (kehadiran), terhitung nggak masuk (sekolah). Terus, untuk searching, cari jawaban tugas dari guru. Akhirnya, ikut dagang untuk kurang beban orangtua. Uangnya untuk beli pulsa," kata Ata, sapaan akrab siswi kelas XII ini, Sabtu (15/8/2020).
Untuk kebutuhan pulsa, Ata menghabiskan rata-rata Rp 25 ribu sepekan atau Rp 60 ribu sebulan. Itu pun dengan mengakali pergantian kartu provider dan memilih harga murah.
"Jadi lebih boros karena belajar online. Tiap saat harus online untuk pelajaran dari guru dan mengerjakan tugas," ujarnya.
Ata dan kakaknya berjualan mi tek-tek menggunakan mobil pikap modifikasi. Dari pagi menjelang siang sekitar pukul 11.00 WIB ia dan kakaknya mangkal di kompleks Pemkab Tanggamus.
Lalu, sore sampai malam berkeliling menyusuri jalan kampung di antara Pekon Kampung Baru, Tanjung Anom, dan Talang Rejo, di Kecamatan Kota Agung Timur.
Selama mangkal, Ata membantu mengantarkan mi kepada konsumen, mencuci mangkok, dan membereskan barang dagangan. Sembari itu, ia mencari materi pelajaran atau jawaban tugas melalui internet.
Berjualan mi tek-tek saat ini, menurut Ata, cukup berat. Pembeli tidak terlalu banyak karena dampak pandemi Covid-19.
"Tapi ya tetap harus dagang biar mengurangi beban orangtua," katanya.
Ata pulang ke rumah antara pukul 21.00-22.00 WIB. Setelah itu, ia melanjutkan dengan mengerjakan tugas di buku sampai pukul 23.00 WIB. Itu adalah batas waktu pengiriman foto hasil pengerjaan tugas.
"Guru-guru menunggu sampai jam 11 malam, itu akhir waktu pengumpulan tugas," katanya.
Ia menambahkan belajar daring mengubah pola belajar dari sebelumnya. Mulai dari absen pagi pukul 07.00 dan pukul 15.00 untuk absen sore. Setelahnya, pukul 23.00 mengumpulkan tugas.
"Minimal tiap hari harus absen supaya terhitung masuk. Absen pagi dan sore," ujarnya.
Jualan Pempek
Di Bandar Lampung, ada Jonatan, siswa kelas VII SMP Negeri 42 Pulau Pasaran, yang mengalami nasib kurang beruntung.
Untuk belajar daring, sulung dari dua bersaudara ini menggunakan ponsel ayahnya.
Kondisi demikian menguatkan tekad Jonatan untuk memiliki ponsel sendiri. Alhasil, ia rela berjalan rata-rata 5 kilometer setiap hari untuk berjualan pempek keliling.
Bocah 11 tahun ini menabung penghasilannya agar bisa membeli ponsel pintar.
"Buat beli HP. Sekarang pake HP bapak. Kadang juga rebutan sama adik saya," tutur Jonatan, Jumat (14/8/2020).
Jonatan dan keluarganya tinggal di rumah kontrakan kecil di Jalan WR Supratman, Kelurahan Talang, Kecamatan Telukbetung Selatan.
Ayahnya, M Yudi, seorang buruh mebel. Sejak Covid-19 melanda, ia banting setir menjadi pengojek pengkolan karena orderan mebel sepi.
Selain dengan ayah, Jonatan tinggal bersama adik dan ibu sambung. Ibu kandungnya sudah meninggal empat tahun lalu.
Jonatan mengaku berjualan pempek keliling murni keinginannya. Selain untuk kebutuhan sekolah, ia ingin meringankan beban orangtua.
Setiap hari mulai pukul 12.30 ia menjajakan 200 buah pempek serta combro. Harganya Rp 1.000 per buah.
Jonatan yang bercita cita menjadi ustaz mengungkap dagangan pempek tersebut merupakan usaha kerabatnya.
Semakin banyak pempek yang ia jual, semakin banyak pula upah yang ia dapat.
Rata rata sehari Jonatan mengantongi upah Rp 30 ribu. Dengan catatan, semua pempek yang ia jajakan hari itu ludes terjual.
"Tergantung berapa banyak yang kejual. Kalau lagi sepi, cuma dapat Rp 19 ribu. Jualnya sampe sore.
Kalau gak habis ya saya balikin sama yang punya," ujarnya.
Ia mengaku mendapat bully-an dari teman-temannya pada awal-awal berjualan. Namun, ia tak ambil pusing.
"(Bully) macam macam lah omongannya. Tapi sekarang udah gak lagi. Sudah biasa," katanya.
Sejak jualan, Jonatan merasakan banyak hal positif. Pastinya, ia sudah biasa mengisi sendiri pulsa dan kuota internet tanpa minta duit orangtua.
Dalam 5 hari, Jonatan biasa menghabiskan 1,5 GB kuota internet. Harganya Rp 9 ribu. Namun, hal yang masih menjadi kendala adalah jaringan internet kartu provider yang ia gunakan kerap mengalami gangguan.
Jika ada pilihan, Jonatan lebih memilih belajar tatap muka.
"Enak ketemu guru, nanyanya gampang. Jadi lebih cepat paham. Kalau lewat HP, susah. Sinyalnya juga sering gangguan," jelasnya.
Ayah Jonatan, M Yudi, tak pernah memaksa anaknya berjualan. Namun, karena niat Jonatan sendiri, Yudi hanya bisa mendukung agar putranya semangat berjualan dan belajar di rumah.
"Saya juga kaget, tiba-tiba dia minta izin mau jualan pempek. Katanya kasihan lihat bapak ngojek," ujar Yudi.
Yudi sebenarnya tak tega melihat anaknya setiap hari berjalan kaki menjajakan pempek demi membeli ponsel.
Namun, karena tak ada pilihan lain, ia hanya berharap upaya Jonatan tak sia-sia.
"Alhamdulillah tetap giat belajarnya. Ngajinya, sholatnya, rajin. Karena cita-citanya mau jadi pilot atau ustaz," tutur Yudi.
Ganti HP
Di Lampung Selatan, seorang ayah terpaksa mengganti ponsel lamanya dengan ponsel pintar. Itu tak lain agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran daring yang mengharuskan menggunakan ponsel pintar.
Ponsel sebelumnya adalah ponsel lama dan bukan Android. Ia hanya menggunakannya untuk menelepon.
"Kemarin terpaksa ganti HP Android yang bisa untuk belajar daring. Sebenarnya saya nggak terlalu butuh. Tapi, anak harus belajar daring, jadi terpaksa ganti," kata Johan, wali murid yang anaknya kelas 4 SD di Kecamatan Penengahan, Sabtu.
Sementara Kiki, siswa SD di Kecamatan Palas, menggunakan ponsel milik ibunya untuk belajar daring. Namun, sinyal menjadi hambatan pelajar kelas V ini.
"Sinyal kadang kurang bagus," ujarnya.
Sinta, ibu Kiki, mengakui repotnya mendampingi sang anak belajar daring.
"Kendalanya sinyal memang. Tapi, kita (orangtua) juga cukup repot karena harus sering ngisi paket data," kata Sinta yang putri pertamanya di kelas 2 SMP juga belajar daring.
"Harapan saya, pandemi ini cepat selesai. Sekolah bisa belajar seperti biasa. Kasihan anak-anak, kadang bosan juga belajar daring," imbuhnya.
Oranye Tetap Daring
Pelaksana Tugas Kepala Bidang SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung Desmarina menilai sekolah daring sangat efektif pada masa pandemi Covid-19.
Di daerah yang masuk zona oranye, menurut dia, pembelajaran harus tetap secara daring.
"Kami selalu memantau lewat tim verifikasi. Termasuk memperhatikan para orangtua yang kesulitan belajar daring," katanya, Sabtu.
Desmarina menjelaskan pembelajaran tatap muka baru boleh untuk daerah yang masuk zona hijau dan kuning.
Dengan syarat, pihak sekolah harus ketat menjalankan protokol kesehatan.
"Terkecuali zona hijau dan kuning, memang boleh untuk sekolah tatap muka," ujarnya.
Sementara Dinas Pendidikan Tanggamus menyatakan tidak memaksakan siswa-siswi harus belajar daring. Ada sistem belajar lain, yakni menggunakan modul dan kelompok belajar siswa.
"Bisa pakai modul atau buku paket dari pihak sekolah. Cara lain, guru mendatangi kelompok siswa," ujar Sekretaris Disdik Tanggamus Lauyustis, Sabtu.
Untuk tingkat SD di Tanggamus, menurut Lauyustis, rata-rata guru mendatangi kelompok siswa. Sementara SMP, bisa menggunakan pola belajar modul.
Lauyustis mengakui ada banyak desakan agar sekolah membuka lagi belajar tatap muka. Namun, bagi Disdik Tanggamus hal itu cukup berat.
Sebab, dari pengalaman daerah lain, justru akibat hal itu kasus Covid-19 bertambah.
"Kami tidak mau gegabah karena ini berbahaya. Bahaya bagi peserta didik, bahaya bagi tenaga pendidik, dan bahaya bagi keluarganya masing-masing. Maka, kami masih mengkaji lebih dalam lagi," ujar Lauyustis. (tribunlampung.co.id/tri/joe/ded/byu)