Memilih Damai

Cendekiawan Aceh: Erick Thohir Sosok Alternatif dari Luar Jawa, Layak Didorong Maju Pilpres

Fachry Ali mengatakan, Erick Thohir bisa menjadi jembatan bagi generasi milenial dan non milenial. 

Tribunnews/Herudin
Erick Thohir yang saat ini menjabat sebagai Menteri BUMN disebut sebagai Tokoh asal Sumatera yang layak didorong maju Pilpres 2024. 

"Dalam hal ini Masyumi yang memiliki basis tersebar di masing-masing daerah, yang tak dipungkiri penduduk di pulau Jawa sangat dominan saat ini.

"Menurut saya dari 1955 walaupun ini sangat hipotesis sampai dengan 1959, itu dikotomi Jawa dan luar Jawa itu tidak menjadi persoalan politik pada masa itu, tidak menjadi isu karena orang masih merindukan Hatta. Tapi setelah terjadinya Dekrit Presiden 1959 dikotomi itu kemudian meluas pendalaman karena kemudian terjadi keresahan-keresahan yang bersifat ekonomi," tandasnya.

Setelah itu, sebut Fachry, keresahan-keresahan akan politik identitas muncul. Hal ini diperparah dengan munculnya Orde Baru yang bisa dianggap pengukuhan politik identitas, bukan dalam perilaku politik saja.

Ia menjelaskan, model kekuasaan kemudian kembali pada model sejarah politik dan sosial ekonomi Jawa yang kemudian diciptakan.

"Lalu, tokoh-tokoh yang menjadi model politik itu adalah berasal dari dunia pewayangan, sehingga kemudian dirinya sebagai anak Aceh pun itu punya pendapat bahwa jika tidak bisa memahami Indonesia tanpa memahami Jawa," sebut dia.

Meski bisa memahami Jawa, sebut Fachry, mereka belum tentu memahami Indonesia. Oleh karenanya, penting untuk menguasai salah satu daerah luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, ataupun Sulawesi Selatan. 

"Jadi kalau kita tahu daerah luar Jawa, itu baru Anda bisa mengklaim bahwa Anda kenal Indonesia. Jadi kalau kita lihat proses politik yang semacam ini itu adalah suatu proses yang berlangsung secara tidak sengaja, karena pemilu yang tidak tuntas 1955 lalu kemudian negara baru merdeka dimana wilayah luar Jawa itu yang muncul secara dominan, sebagai kontributor dari ekonomi secara nasional karena mereka adalah sumber utama bagi ekspor komoditas ekspor, sementara wilayah Jawa itu yang dominan adalah pertumbuhan penduduknya," paparnya.

Menurut Fachry, pemindahan ibu kota dari Pulau Jawa akan memicu munculnya politik pasca-Jawa, yakni kurangnya sopan santun dalam berpolitik. Selain itu, pembangunan infrastruktur luar Jawa juga akan meningkat.

"Apakah ini akan melahirkan tokoh di luar Jawa, itu sebuah pertanyaan dari sebuah periode baru yang sedang bangkit sekarang ini," tanyanya.

Sedangkan, Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Profesor Alfitri menerangkan, jika berbicara mengenai hal historis peradaban Indonesia, bangsa Melayu sebenarnya memiliki kekuatan lebih besar karena memiliki Mataraman Jawa yang lebih oligarkis.

"Nah, Melayu inilah sebetulnya akar dari demokrasi sebenarnya dan yang saya lihat beberapa potensi-potensi yang memang menjadi akar demokrasi itu memang muncul di Sumatera, ada marga Sumatera Barat ada Nagari, di Sumatera Utara juga ada marga.

"Inilah pembelajaran demokrasi Indonesia, sehingga pada saat kita melihat potret bagaimana Melayu memberikan semacam sumbangsih demokrasi kepada bangsa ini sangat terasa pada saat memutuskan Sumpah Pemuda," papar Alfitri.

Alfitri melanjutkan, Indonesia perlu mencari orang Jawa yang bisa menghargai bahasa Indonesia yang akarnya adalah bahasa Melayu.

"Kemudian yang kedua ketokohan yang tadi singgung Soekarno Hatta yang memang begitu tunggal ini adalah model politik awal dalam membangun Indonesia ke depan," tuturnya.

Dia menilai bahwa ada semacam pencitraan bahwa presiden harus orang Jawa dan luar Jawa. Contohnya seperti Soekarno-Hatta, Soekarno-Malik, dan Soekarno-Jusuf Kalla (JK).

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved