Advertorial

Upaya Pemenuhan Hak Bagi Narapidana, Begini Kata Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Metro Joko Nugroho

Salah satu permasalahan pemenuhan hak asasi yang belum dibahas secara optimal adalah pemenuhan hak untuk 'melanjutkan keturunan' bagi narapidana.

Istimewa
Kegiatan Bapas Kelas II Kota Metro, Lampung. 

 Upaya Pemenuhan Hak Bagi Narapidana

     Oleh: Joko Nugroho, S.H.

     Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda – Bapas Kelas II Metro

PEMENUHAN hak narapidana di Lapas dan Rutan selalu menjadi fenomena yang memendam permasalahan laten di balik pemenuhan hak yang tampak di permukaan.

Hal tersebut terjadi karena seluruh aspek kehidupan di balik jeruji penjara akan terbatas di bawah pengelolaan Petugas Pemasyarakatan.

Salah satu permasalahan pemenuhan hak asasi yang belum dibahas secara optimal adalah pemenuhan hak untuk 'melanjutkan keturunan' bagi narapidana, terkhusus perempuan.

Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, ”Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, sehingga tanpa memandang status apapun, setiap individu memiliki hak untuk berinteraksi dalam lingkup keluarga yang sah.

Konteks permasalahan muncul ketika pembahasan mengenai pemenuhan hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan tersebut dikaitkan dengan individu yang berstatus sebagai narapidana.

Dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia, narapidana mengalami perampasan hak kemerdekaan dan mengakibatkan narapidana yang sudah berkeluarga menjadi sulit untuk berinteraksi dengan keluarga.

Terlebih adanya pengaturan dan pembatasan dalam komunikasi antara narapidana dengan pihak di luar Lapas dan Rutan.

Perlu menjadi perhatian, permasalahan pemenuhan hak seksual bagi narapidana yang sudah berkeluarga masih sangat jarang dibahas di Indonesia.

Padahal tidak dapat dipungkiri, kebutuhan seksual dan hak berkeluarga adalah dua frasa yang saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan sama sekali.

Selanjutnya, menurut Pasal 33 dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami-istri wajib diantaranya saling membantu kebutuhan lahir dan batin satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya, jika salah satu melalaikan kewajibannya, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.

Lebih jauh lagi, berdasarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 3 Tahun 1953, seorang suami wajib mematuhi Shighat Taklik (cerai bersyarat) yang umumnya dibacakan sebelum akad nikah dilangsungkan:

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved