Berita Nasional
410 Orang Tewas akibat Kekerasan Polisi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 410 orang tewas akibat mendapat kekerasan dari aparat kepolisian sejak 20
Tribunlampung.co.id, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 410 orang tewas akibat mendapat kekerasan dari aparat kepolisian sejak 2020 sampai 2024.
Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, berdasarkan pemantauan pihaknya, Korps Bhayangkara menjadi institusi yang selalu melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atau melakukan tindakan kekerasan setiap tahunnya.
"Misalnya dari tahun 2020-2024 itu terjadi peristiwa sebanyak 353 peristiwa kekerasan dengan mengakibatkan korban tewas 410 orang," kata Andi dalam diskusi virtual bertemakan Darurat Reformasi Polri, Minggu (8/12).
Andi menyebut, dari ratusan orang yang tewas tersebut, puluhan di antaranya terkait peristiwa pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing. "Jika kami detailkan terkait dengan peristiwa EJK dari Desember 2023 sampai November 2024, itu terdapat 45 peristiwa EJK dengan mengakibatkan 47 korban tewas, beberapa di antaranya 27 merupakan tindakan terkait tindakan kriminal dan 20 lainnya tak terkait dengan tindakan kriminal," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana menyebut pihaknya juga mencatat hal serupa dengan jumlah yang berbeda. Temuan YLBHI ada 35 peristiwa extrajudicial killing di seluruh Indonesia, dengan 94 orang menjadi korban tewas. Hal ini meliputi banyak sektor, baik itu kasus konflik di Papua, narkotika, oposisi yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah, hingga kasus agraria.
"Dari seluruh kasus, 80 persen kasus total dari kasus tsb ini tidak mendapatkan proses penyelesaian, artinya tidak jelas kasusnya. Sepuluh persen ini ada tersangkanya tapi prosesnya berhenti, sisanya yang kemudian diadili," ucapnya.
Arif beranggapan budaya impunitas di tubuh Polri sangat kental yang berdampak pada lemahnya pengawasan internal maupun eksternal Polri. "Di internal kita lihat Propam di kepolisian sering kali justru malah melindungi anggota, diproses secara etik namun kemudian pidananya tidak. Secara eksternal ada Komnas HAM, ada Kompolnas. Tetapi mereka tidak memiliki kewenangan lebih, untuk kemudian memastikan pengawasan itu berjalan," tuturnya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti soal kasus-kasus penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Hal ini buntut terjadinya sejumlah kasus penembakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, baik terhadap sesama polisi hingga warga sipil, beberapa waktu terakhir. Salah satunya penembakan terhadap seorang pelajar hingga tewas di Semarang, Jawa Tengah.
Arif Maulana menyebut, penyalahgunaan senpi ini merupakan buntut dari masalah pengawasan terhadap Korps Bhayangkara itu sendiri sehingga rentan menyalahgunakan wewenang dan bersikap sewenang-wenang. "Saya ingin kemudian mengatakan hari ini itu situasinya darurat terkait dengan kesewenang-wenangan penyalahgunaan senjata api oleh kepolisian," kata Arif.
Dia bahkan setuju soal usulan melucuti polisi dari senjata api dalam bentuk evaluasi penggunaan senjata. Hal ini karena diakuinya tak semua anggota memerlukan senpi dalam bertugas.
"Apakah kita butuh desakan untuk melucuti senjata kepolisian. Saya kira ini penting untuk dipertimbangkan dan harus ditindaklanjuti, karena tidak semua fungsi kepolisian itu membutuhkan senjata api," ucapnya.
"Fungsi-fungsi pelayanan masyarakat, sumber daya manusia, misalkan Korlantas itu tidak membutuhkan sebetulnya senjata api. Maka dari itu, penting untuk sekali lagi pesannya adalah melakukan evaluasi terhadap penggunaan senpi oleh kepolisian," sambungnya.
Bahkan, kata Arif, banyaknya kasus extrajudicial killing yang terjadi beberapa waktu terakhir semakin menunjukkan bahwa penggunaan senjata secara berlebihan masih menjadi masalah di tubuh Polri.
Arif menyebut jika polisi hari ini bisa disebut militeristik karena kerap menggunakan kekerasan dengan dalih penegakan hukum. "Reformasi di tubuh kepolisian yang hari ini kita melihat tidak sejalan dengan semangat mendorong reformasi polisi yang tujuannya agar polisi itu demokratis, dan menghormati HAM, dan tidak menggunakan pendekatan kekerasan seperti pada masa Orde Baru ketika mereka ada satu atap di bawah ABRI, sangat militeristik," tuturnya.
"Tapi yang kita lihat hari ini polisi sangat militeristik, pendekatan kekerasan menggunakan senjata itu sangat mudah dilakukan," ucapnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.