Wawancara Eksklusif

Atasi Polemik Harga Gabah di Lampung, Wherli: Perlu Skema Kolaborasi

Ketua Harian Ikaperta Unila Fahuri Wherlian Ali KM menyebut langkah ini sebagai kebijakan yang cerdas dan berpihak kepada petani.

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
BAHAS GABAH - Ketua Harian Ikaperta Unila Fahuri Wherlian Ali KM hadir sebagai narasumber dalam wawancara eksklusif di studio Tribun Lampung, Senin (21/4/2025). 

Lantas apa solusinya?

Menurut saya, ada tiga hal. Pertama, naikkan harga beras di tingkat konsumen agar sesuai dengan kenaikan harga gabah.

Kedua, pemerintah pusat harus membantu RMU (rice milling unit atau penggilingan padi) dan Perpadi (Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia) dalam pengadaan mesin modern yang besar, meng-upgrade teknologi yang ada supaya rendemennya bisa maksimal. Pemerintah bisa memberikan bantuan modal dengan bunga pinjaman yang sangat rendah.

Ketiga, lakukan kerja sama antara penggilingan kecil (pecah kulit) dengan perusahaan besar seperti Wilmar dan lainnya.

Yang tak kalah penting, petani juga harus menjual padi saat sudah panen. Jangan dijual sebelum masa panen agar harga tidak jatuh. Dengan begitu, petani, Perpadi, dan pengusaha bisa saling berkaitan dan saling menguntungkan.

Seberapa besar dampaknya bagi penggilingan padi skala kecil dengan harga Rp 6.500 ini?

Dampaknya sangat besar. Penggilingan padi skala kecil umumnya hanya bisa menghasilkan rendemen 60-65 persen.

Sementara perusahaan besar dengan mesin modern bisa mencapai 75 persen. Ini menyebabkan penggilingan kecil tidak bisa menyerap gabah dengan harga Rp 6.500 karena risikonya malah rugi.

Bisa Anda berikan contoh penghitungan sederhana proses tanam hingga panen?

Misalnya, 100 kilogram gabah kering digiling oleh RMU kecil dengan rendemen 60 persen, hasilnya hanya 60 kilogram beras.

Dengan harga jual beras medium di pasaran sekitar Rp 12.500 per kilogram, keuntungan mereka sangat tipis, bahkan bisa rugi, apalagi jika memperhitungkan biaya angkut, tenaga kerja, dan penyusutan mesin.

Lalu bagaimana dengan perusahaan besar?

Kalau perusahaan besar seperti Wilmar, mereka punya rendemen tinggi dan bisa menjual beras premium di harga Rp 15.800 per kilogram. Jadi wajar mereka lebih stabil dan nyaman. 

Masalah justru ada pada RMU kecil yang menjerit karena tak sanggup membeli gabah dengan HPP. Sementara petani jangan sampai ikut menjerit.

Apa solusi yang Anda tawarkan untuk mengatasi ketimpangan ini?

Halaman
123
Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved