Berita Terkini Nasional

Kisah Stafsus Presiden dan Jubir Bidang Sosial Angkie Yudistia, Banyak Menangis hingga Mandiri

Bagi Angkie Yudistia, tanggal 21 November 2019 lalu adalah hari paling tak terlupakan dalam hidupnya.

Editor: Teguh Prasetyo
Instagram/angkie.yudistia
DISABILITAS TULI - Angkie Yudistia, penyandang disabilitas tuli tak pernyah menyangka pada tahun 2019 lalu, dilantik sebagai Staf Khusus (Stafsus) Presiden dan Juru Bicara Bidang Sosial pada masa kepemimpinan Joko Widodo. 

Jika ia tak mendengar perkataan murid lain, Angkie jujur berkata kepada mereka bahwa ia tidak bisa mendengar.

Akan tetapi jika ada yang mengasihaninya, maka tidak ia anggap teman.

Perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara ini menyebut, keluarga merupakan lingkungan tumbuh kembang yang penting.

Dia bercerita bahwa sebenarnya tak semua keluarganya paham dengan kondisinya.

Misalnya tetap berbicara dengan berteriak yang padahal juga tak berpengaruh.

Ia sadar tak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana namun ada hal yang bisa dilakukannya.

"Bagaimana kita berdamai dengan keluarga kita, itu harus berdamai dengan diri kita sendiri dulu. Sebelum kita bisa memulai langkah apa yang ingin kita lakuin, kita harus memaafkan diri sendiri dulu. Jangan pernah lupa itu," ujarnya.

Angkie kemudian menekankan bahwa karakter kepemimpinan itu dibentuk dari diri sendiri.

"Memimpin dimulai dari memimpin dirinya sendiri dulu. Mampu enggak kita disiplin? Bangun jam berapa? Makan jam berapa? Baca jam berapa? Kerjain tugas jam berapa? Bersosialisasinya juga gimana? Terus hubungan baik dengan keluarga terdekat, orangtua, kakak, adek, tetangga, atau dengan semua orang," tuturnya.

Ia percaya jika kita bisa memimpin diri sendiri maka siap untuk menjadi pemimpin di lingkungan luar.

Pada 2011, Angkie membangun Disabled Enterprise yang membuka kelas hard skill dan soft skill untuk teman-teman disabilitas.

Usahanya itu lalu bermitra dengan GoJek di berbagai layanannya seperti GoClean dan GoMassage.

Saat itu usianya baru 23 tahun dan ia sudah memimpin 3.800 pekerja yang setiap bulannya mampu menghasilkan Rp 4-7 juta.

"Cara bikinnya gimana? Saya banyak tanya. Kebutuhannya mau seperti apa? Terus saya bikin. Gagal, gagal, gagal, gagal, pasti. Saya gagal berkali-kali, saya nangis berkali-kali, sampai pada akhirnya saya bisa dan membuat mereka mandiri," cerita Angkie.

Sayangnya karena pandemi Covid-19, layanan jasa di aplikasi tersebut tutup dan 3.800 orang mitra tak lagi berpenghasilan.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved