Berita Terkini Nasional

Kisah Stafsus Presiden dan Jubir Bidang Sosial Angkie Yudistia, Banyak Menangis hingga Mandiri

Bagi Angkie Yudistia, tanggal 21 November 2019 lalu adalah hari paling tak terlupakan dalam hidupnya.

Editor: Teguh Prasetyo
Instagram/angkie.yudistia
DISABILITAS TULI - Angkie Yudistia, penyandang disabilitas tuli tak pernyah menyangka pada tahun 2019 lalu, dilantik sebagai Staf Khusus (Stafsus) Presiden dan Juru Bicara Bidang Sosial pada masa kepemimpinan Joko Widodo. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Bagi Angkie Yudistia, tanggal 21 November 2019 lalu adalah hari paling tak terlupakan dalam hidupnya.

Bagaimana tidak, di hari itu, ia dilantik sebagai Staf Khusus (Stafsus) Presiden dan Juru Bicara Bidang Sosial pada masa kepemimpinan Joko Widodo.

Di balik sosoknya yang tampil ceria dan penuh semangat, mungkin tak ada yang menduga kalau Angkie adalah penyandang disabilitas tuli.

Bagi Angkie, lontaran kata-kata yang meremehkan kerap masuk ke telinganya.

Hal itu dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya. "Jadi, stigma yang didapat adalah, ngapain sih kamu mimpi tinggi-tinggi? Toh pada akhirnya kamu enggak bisa apa-apa. Itu adalah bully-an saya tiap hari, selalu mengalami seperti itu," kata Angkie saat berbicara di acara Tanoto Scholars Gathering 2025 di Pangkalan Kerinci, Riau, Kamis (24/7/2025).

Untungnya sejak kecil, Angkie gemar membaca buku di perpustakaan.

Orangtuanya pun mewajibkan membaca koran setiap hari agar memiliki kemampuan literasi.

Lebih jauh lagi, kata Angkie, orangtuanya mempunya visi menjadi dia perempuan yang mandiri.

Tumbuh dengan lingkungan keluarga demikian, menumbuhkan mimpi dalam diri Angkie dan ia bertekad membuktikan bahwa ucapan orang-orang itu salah.

Baginya pendidikan adalah kunci.

"Kalau kita masih berpikir segala sesuatu kita enggak bisa, itu kita belum mandiri. Kalau keyakinan kita bisa, semua kita bisa lakuin," kata Angkie yang kini berusia 38 tahun.

Menjadi seorang perempuan yang independen, menurutnya bukan sekadar bisa cuci piring, cuci sayur dan buah, atau bersihin-bersih rumah karena itu adalah kewajiban setiap individu.

"Kalau ada masalah, kita tahu solusinya gimana. Kalau ada masalah, kita enggak menyalahkan orang lain. Tapi setiap ada masalah, kita harus bisa berpikir bagaimana solusinya. Kalau misalkan kita berantem sama teman, enggak usah musuhan, kita omongin," ujarnya.

Angkie kecil disarankan belajar di SLB, namun SLB dulu jumlahnya hanya satu atau dua per provinsi.

Akhirnya ia pilih Sekolah Inklusi, sekolah yang memberikan pengajaran pada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam satu lingkungan belajar, sehingga ia terbiasa berteman dengan anak-anak pada umumnya.

Jika ia tak mendengar perkataan murid lain, Angkie jujur berkata kepada mereka bahwa ia tidak bisa mendengar.

Akan tetapi jika ada yang mengasihaninya, maka tidak ia anggap teman.

Perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara ini menyebut, keluarga merupakan lingkungan tumbuh kembang yang penting.

Dia bercerita bahwa sebenarnya tak semua keluarganya paham dengan kondisinya.

Misalnya tetap berbicara dengan berteriak yang padahal juga tak berpengaruh.

Ia sadar tak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana namun ada hal yang bisa dilakukannya.

"Bagaimana kita berdamai dengan keluarga kita, itu harus berdamai dengan diri kita sendiri dulu. Sebelum kita bisa memulai langkah apa yang ingin kita lakuin, kita harus memaafkan diri sendiri dulu. Jangan pernah lupa itu," ujarnya.

Angkie kemudian menekankan bahwa karakter kepemimpinan itu dibentuk dari diri sendiri.

"Memimpin dimulai dari memimpin dirinya sendiri dulu. Mampu enggak kita disiplin? Bangun jam berapa? Makan jam berapa? Baca jam berapa? Kerjain tugas jam berapa? Bersosialisasinya juga gimana? Terus hubungan baik dengan keluarga terdekat, orangtua, kakak, adek, tetangga, atau dengan semua orang," tuturnya.

Ia percaya jika kita bisa memimpin diri sendiri maka siap untuk menjadi pemimpin di lingkungan luar.

Pada 2011, Angkie membangun Disabled Enterprise yang membuka kelas hard skill dan soft skill untuk teman-teman disabilitas.

Usahanya itu lalu bermitra dengan GoJek di berbagai layanannya seperti GoClean dan GoMassage.

Saat itu usianya baru 23 tahun dan ia sudah memimpin 3.800 pekerja yang setiap bulannya mampu menghasilkan Rp 4-7 juta.

"Cara bikinnya gimana? Saya banyak tanya. Kebutuhannya mau seperti apa? Terus saya bikin. Gagal, gagal, gagal, gagal, pasti. Saya gagal berkali-kali, saya nangis berkali-kali, sampai pada akhirnya saya bisa dan membuat mereka mandiri," cerita Angkie.

Sayangnya karena pandemi Covid-19, layanan jasa di aplikasi tersebut tutup dan 3.800 orang mitra tak lagi berpenghasilan.

Angkie sedih sampai menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal. 

"Tapi jalan selalu ada. Hingga pada tahun 2019 itu saya dipanggil ke Istana Negara. Tidak kaleng-kaleng langsung waktu itu Menteri Sekretaris Negara (minta) untuk berbicara tentang bagaimana konsep empower teman-teman penyakit disabilitas," ungkap Angkie.

Mendapat kesempatan itu, ia memaksimal waktu tiga menit untuk presentasi.

"Susah. Tapi bukan berarti tidak bisa. Bagaimana kita bisa melakukan public speaking 3 menit untuk membuat kepala pemimpin kita itu percaya kepada kita. Dan saya berhasil melakukannya itu kepada Presiden pada waktu itu. Sehingga saya menjadi staf khusus Presiden sebagai perempuan disabilitas pertama yang berada di Istana Negara," kisahnya.

Angkie tak mengelak bahwa banyak yang mempertanyakan latar belakangan pendidikannya yang bukan dari area kebijakan publik.

Angkie merupakan lulusan S1 Ilmu Komunikasi dan Periklanan dan S2 Marketing Communication.

Namun baginya, semua hal baru bisa dipelajari.

Dengan mengabdi kepada negara, ia merasa mengabdikan pikiran dan tenaganya kepada masyarakat.

Setelah habis masa jabatan pada 2024 sekarang ia sedang kuliah S3 bidang komunikasi dan kepemimpinan.

(tribunnetwork)

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved