50 Anggota DPRD Tidak Hadiri Paripurna HUT Lampung, Ridho: Insya Allah yang Hadir Aman

Penulis: Noval Andriansyah
Editor: Daniel Tri Hardanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana rapat paripurna istimewa peringatan HUT Ke-55 Provinsi Lampung di gedung DPRD setempat, Senin, 18 Maret 2019.

Sementara itu timbul keraguan dari VOC mengenai status penguasaan Lampung di bawah Kekuasaan Kesultanan Banten, yang kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidaklah mutlak.

Penempatan wakil-wakil Sultan Banten di Lampung yang disebut "jenang" atau kadang-kadang disebut gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi (lada).

Sedangkan para penguasa Lampung asli yang terpencar pada tiap-tiap desa atau kota yang disebut "adipati" secara hierarki tidak berada di bawah koordinasi penguasaan jenang/gubernur.

Disimpulkan penguasaan Sultan Banten atas Lampung hanya dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai monopoli arus keluarnya hasil bumi terutama lada.

Dengan demikian jelas hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan lainnya.

Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811 ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda. Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk Residen Belanda untuk Lampung.

Pada masa itu, sejak tahun 1817 posisi Radin Inten, pejuang perlawanan Lampung semakin kuat yang membuat Belanda merasa khawatir dan mengirimkan ekspedisi kecil dipimpin oleh Asisten Residen Krusemen yang menghasilkan persetujuan.

Isinya, Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda sebesar f. 1.200 setahun.
Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun.

Radin Inten tidak diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu berada di bawah pengaruhnya.

Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Sehingga pada tahun 1825 Belanda memerintahkan Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever serta anak buahnya.

Belanda yang ketika itu juga tengah menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830), dibuat tidak berkutik terhadap perlawanan tersebut. Tahun 1825 Radin Inten meninggal dunia lalu digantikan oleh putranya Radin Imba Kusuma.

Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, dilanjutkan pada tahun 1833 Belanda kembali menyerang benteng Radin Imba Kusuma, yang semuanya menemui kegagalan.

Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh Perwira Militer Belanda yang didukung dengan kekuatan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil dikuasai.

Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma kemudian dibuang ke Pulau Timor.

Belanda juga kian gencar mendekati rakyat pedalaman melalui "Jalan Halus" dengan memberikan berbagai hadiah kepada pemimpin perlawanan rakyat Lampung yang ternyata tidak membawa hasil.

Sehingga akhirnya Belanda membentuk tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi kepentingan Belanda di daerah Teluk Betung dan sekitarnya.

Dilain sisi perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma yang bernama Radin Inten II terus berlangsung, sampai akhirnya Radin Inten II ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan dari Batavia.

Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit.

Untuk kepentingan pengangkutan hasil perkebunan itu pada tahun 1913 dibangun jalan kereta api dari Teluk Betung menuju Palembang.

Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan penjajah yang silih berganti.

Sampai akhirnya sebagai mana dikemukakan pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.

Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada.

Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.(*)

Berita Terkini