TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Pandemi Covid-19 yang melanda dunia turut berdampak terhadap industri kopi, tak terkecuali di Lampung.
Petani pun mencari cara agar tetap bertahan di tengah masa krisis pandemi Covid-19.
Sri Wahyuni, pengelola kopi di Ulubelu, Tanggamus, mengatakan, penjualan menurun drastis sejak pandemi virus corona merebak.
Biasanya ia bisa menjual 1 kuintal kopi bubuk.
Sejak pandemi, penjualannya hanya sekitar 50 kg.
• RuKo-AJI Bandar Lampung Gelar Webinar Bahas Kopi dan Hutan
• Festival Kopi dan Sekolah Kopi Lampung Barat Tingkatkan Kesejahteraan Petani
• Polsek Gedong Tataan Amankan Senpi Rakitan dan Amunisi dari Pelaku Begal
• BREAKING NEWS Begal Bersenpi di Gedong Tataan Diringkus 6 Km dari TKP
“Untuk tetap bertahan di tengah kondisi tersebut, petani kopi di Ulubelu menerapkan metode tumpang sari sembari menunggu panen kopi," kata Sri dalam Webinar bertajuk “Peluang, Ancaman, Tantangan, dan Kekuatan Kopi Robusta Lampung Menghadapi New Normal” di Rumah Kolaborasi (RuKo) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Sabtu (11/7/2020).
"Biasanya kami menanam cabai dan pisang di sela-sela tanaman kopi sebagai penghasilan mingguan bagi petani,” sambungnya.
Menurut Ketua Koperasi Produsen Srikandi Maju Bersama itu, harga dan penjualan kopi masih menjadi masalah utama bagi petani kopi lokal di Ulubelu, terlebih pada masa pandemi.
Biasanya ada pembeli dari luar daerah yang mengambil hasil panen kopi.
Namun, di tengah pandemi seperti ini, orang dari luar daerah tidak ada yang datang sehingga penjualan menurun.
“Sekarang harga kopi robusta asalan sekitar Rp 18.500 per kg. Padahal, kopi yang kami produksi menjaga kualitas dengan cara memilih buah kopi merah. Alangkah bahagianya petani kalau harga juga dapat sesuai dengan kualitas,” ujarnya.
Sri berharap pihak terkait, termasuk pemerintah, dapat membantu dalam pemasaran dan pengendalian harga kopi di Lampung.
Dengan demikian, penjualan meningkat dan petani bisa merasakan manfaat dari geliat industri kopi.
“Hingga kini, belum ada bantuan pemerintah kepada petani kopi. Sejauh ini, bantuan pemerintah hanya untuk nasabah kredit usaha rakyat (KUR). Padahal, tidak semua petani menjadi nasabah KUR,” kata Sri.
Direktur Eksekutif Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi) Paramita Mentari Kesuma tak memungkiri pernyataan Sri ihwal penurunan penjualan kopi.
Paramita menilai, penurunan daya beli disebabkan karena proses ekspor dan impor mengalami kendala.
Hal tersebut karena pemberlakuan lockdown akibat pandemi Covid-19.
"Toko, coffee shop, dan restoran tutup karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sehingga daya beli terhadap kopi menurun,” kata Paramita.
Sementara Koordinator RuKo Warsito mendorong petani kopi mengembangkan metode agroforestry.
Menurutnya, metode tersebut dapat meningkatkan produksi kopi dengan tetap menjaga lingkungan.
Sebab, agroforestry menggabungkan pengelolaan sumber daya hutan dan pepohonan dengan komoditas kopi.
“Ke depan, kami mendorong pihak terkait seperti pemerintah daerah untuk dapat mengembangkan model tanam kopi dengan agroforestry, sehingga dapat menjaga hutan dan tetap menjaga kualitas produksi kopi," jelas Warsito.
Selain itu, RuKo juga mendorong pemanfaatan panas bumi dalam pengeringan kopi.
Menurut mantan Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung tersebut, pemanfaatan energi panas bumi lebih efektif dan relatif singkat, yakni hanya butuh 48 jam dengan kualitas kopi juga lebih terjamin.
“Kami berharap, metode-metode tersebut dapat lebih menambah produktivitas dan meningkatkan nilai jual kopi Lampung. Sehingga, petani tidak perlu khawatir lagi jika harga kopi di pasaran mengalami penurunan,” pungkas Warsito. (Tribunlampung.co.id/Ahmad Robi)