Berita Lampung
Harga Ubi Kayu Disepakati Rp 1.350 per Kg, DPRD Lampung Dorong Pabrik BUMN Singkong
Anggota DPRD mendorong pemerintah pusat melalui BUMN mendirikan minimal satu pabrik singkong di tiap provinsi yang punya komoditas singkong
Penulis: Riyo Pratama | Editor: soni yuntavia
Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung – Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan kesepakatan harga ubi kayu pasca rapat koordinasi bersama Gubernur Lampung, bupati, dan perusahaan tapioka, Selasa (9/9/2025).
Dalam surat resmi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan Nomor B-2218/TP.220/C/09/2025 yang ditandatangani Direktur Jenderal Judi Sastro, disepakati bahwa harga ubi kayu petani yang dibeli oleh industri sebesar Rp 1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen.
Selain itu, tepung tapioka dan tepung jagung akan diatur tata niaganya sebagai komoditas Lartas (dilarang dan dibatasi).
Impor hanya bisa dilakukan apabila bahan baku dalam negeri tidak mencukupi atau defisit, sesuai hasil kesepakatan bersama.
“Kesepakatan mulai berlaku hari ini, tanggal 9 September 2025, dan untuk dilakukan bersama,” bunyi poin ketiga dalam surat tersebut.
Kesepakatan harga ubi kayu ini merupakan tindak lanjut dari rapat koordinasi Gubernur dan bupati se-Provinsi Lampung bersama petani dan perusahaan tapioka yang sebelumnya digelar bersama Menteri Pertanian di Jakarta, 31 Januari 2025.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi II DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, yang juga Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong, menyambut baik keputusan tersebut.
Ia berharap surat edaran dari Kementan benar-benar dijalankan oleh seluruh perusahaan agar membantu masyarakat, khususnya petani singkong.
“Surat ini berlaku untuk seluruh Indonesia, jadi jangan ada lagi perusahaan yang membeli di bawah harga kesepakatan,” tegas Mikdar, Selasa (9/9/2025).
Mikdar juga mendorong pemerintah pusat melalui BUMN mendirikan minimal satu pabrik singkong di setiap provinsi yang memiliki komoditas singkong untuk menjaga stabilitas harga.
“Sudah saatnya anak bangsa mengolah hasil pertanian menjadi produk siap saji yang dibutuhkan dan dikonsumsi secara rutin. Apalagi singkong di Lampung sangat melimpah,” ujarnya.
Anggota Fraksi Gerindra ini juga menegaskan agar keran impor benar-benar ditutup supaya harga singkong di dalam negeri bisa bersaing.
Menurutnya, Lampung memiliki potensi besar.
“Lahan kita 600 ribu hektare. Dari satu hektare saja bisa menghasilkan 25 ton. Artinya, kita punya potensi 15 juta ton singkong per tahun dan itu bisa lebih jika pengolahan maksimal,” jelas Mikdar.
Dengan potensi tersebut, ia menilai kebutuhan tapioka nasional bisa terpenuhi tanpa harus membuka keran impor.
“Untuk menghasilkan satu kilogram tapioka dibutuhkan sekitar lima kilogram singkong. Maka dari 15 juta ton singkong, dapat dihasilkan sekitar tiga juta ton tapioka,” tambahnya.
Mikdar juga mengungkapkan bahwa Pansus Tata Niaga Singkong segera melaporkan hasil kerjanya ke ketua DPRD Lampung untuk diparipurnakan.
“Semoga dengan adanya surat ini, harapan petani bisa tercapai,” pungkasnya.
Bahan Baku Pangan Strategis
Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal mendorong pemerintah pusat memasukkan singkong sebagai kategori bahan baku pangan strategis yang dilindungi Undang-Undang.
Hal itu disampaikan Gubernur Mirza dalam dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) dan dan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tentang komoditas strategis di Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Gubernur Mirza secara tegas menyuarakan aspirasi petani dan pengusaha singkong karena menyangkut nasib sedikitnya 800.000 keluarga di Lampung menggantungkan hidup dari sektor ini.
Pada kesempatan itu, Gubernur Mirza menekankan pentingnya dukungan DPR RI agar pemerintah pusat menetapkan kebijakan yang berpihak pada petani dan pelaku usaha singkong, serta menjadikan singkong sebagai komoditas pangan strategis nasional.
Dalam pertemuan tersebut, petani dan pengusaha sepakat untuk meminta penghentian impor singkong dan produk turunannya.
"Saya datang kepada Baleg DPR RI membawa teman-teman untuk memperjuangkan nasib petani singkong dan pengusaha singkong," ujar Gubernur Mirza.
Ia memaparkan Lampung menyumbang 51 persen dari total produksi singkong nasional dengan volume mencapai 7,9 juta ton.
"Singkong adalah komoditas utama Lampung selain padi dan jagung. Dari total PDRB Lampung sebesar Rp483 triliun, sekitar Rp50 triliun berasal dari singkong dan turunannya," ujarnya.
Dalam keberpihakan kepada petani singkong, Mirza mengatakan telah menerbitkan Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 tentang penetapan harga sementara ubi kayu (singkong) di wilayah Lampung.
Dalam instruksi ini, ditetapkan harga pembelian ubi kayu sebesar Rp1.350 per kilogram, dengan potongan maksimal 30 persen tanpa mengukur kadar pati.
Namun kenyataan di lapangan, petani terus berada dalam posisi rentan akibat tidak adanya kebijakan nasional yang melindungi harga dan tata niaga singkong karena harga ini hanya berlaku untuk Lampung.
"Petani senang, tapi pengusaha mengeluh karena harga ini membuat bisnis mereka tidak kompetitif," ujarnya.
Menurut Gubernur, para pelaku industri akhirnya memilih untuk menutup pabrik, sehingga saat panen raya, petani tidak punya pembeli dan harga anjlok kembali.
"Saya tanya pengusaha, kenapa tidak bisa beli? Mereka jawab, karena tepung tapioka impor jauh lebih murah dan tidak dikenakan pajak masuk," ucapnya.
Ia pun memperkirakan dalam dua bulan ke depan, saat panen berikutnya tiba, konflik antara petani dan pengusaha akan kembali muncul jika pemerintah pusat tidak segera turun tangan.
"Kalau pusat tidak mengintervensi, petani singkong mereka menyatakan siap mengganti komoditas. Kita masih punya padi, jagung, bahkan tebu. Tapi kalau ini terjadi, artinya singkong dan turunannya akan tergantung pada impor," tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung Welly Soegiono dan Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Provinsi Lampung Dasrul Aswin kompak meminta pemerintah segera mengambil langkah tegas menghentikan impor.
"Kesimpulan yang paling terbaik adalah stop impor," tegas Welly.
Welly mengungkapkan kondisi terpuruk yang tengah dialami petani singkong di Lampung akibat harga jual yang sangat rendah dan praktik perantara yang merugikan.
Menurut Welly, saat ini petani tidak lagi menjual langsung ke pabrik, tetapi melalui pelapak atau tengkulak. Kondisi ini menyebabkan harga yang diterima petani jauh dari yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung.
"Pak Gubernur sudah menentukan harga yang berarti Rp 945 per kilogram, tetapi petani saat ini hanya menerima Rp 400 sampai Rp 500 per kilogram," katanya.
Welly juga menyampaikan para pelapak ini tidak semuanya beroperasi secara fair. Ada yang murni sebagai pelapak, namun ada pula yang merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk mendapatkan bahan baku dengan harga lebih murah.
"Pelapak atau tengkulak ini ada yang murni, tetapi ada juga yang dibuat oleh perusahaan untuk mensiasati agar beli lebih murah,” ungkapnya.
PPTTI bersama Gubernur dan para Bupati disebut telah membahas langkah-langkah untuk menata dan mengatur ulang sistem distribusi dan perdagangan singkong agar petani bisa lebih sejahtera.
"Kita bersama Bapak Gubernur dan Bupati sedang mencari cara bagaimana mengatur dan menata ini," katanya.
Sementara itu, Anggota Baleg DPR RI Firman Soebagyo menyampaikan pembahasan di DPR saat ini sangat relevan dengan nasib petani singkong.
Setidaknya ada dua undang-undang yang tengah disusun yang akan memberikan ruang dan perlindungan bagi komoditas singkong salah satunya RUU tentang Pangan.
"RUU tentang Pangan. Singkong akan kita masukkan sebagai bahan baku pangan strategis, sehingga akan mendapat perlindungan dalam regulasi nasional,” ujar Firman.
Firman juga menyoroti peran Bulog dalam rancangan RUU Pangan tersebut, di mana terdapat satu pasal penting terkait transformasi Bulog.
"Bulog nantinya berperan sebagai buffer stock dan penyangga harga singkong. Jadi singkong akan dibeli oleh Bulog," ujarnya.
Langgar Instruksi Gubernur
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tataniaga Singkong DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas, mengungkapkan masih banyak pabrik pengolahan singkong yang tidak mematuhi instruksi Gubernur Lampung terkait batas maksimal potongan refaksi.
Dalam sejumlah inspeksi yang dilakukan Pansus, Mikdar menemukan praktik pemotongan refaksi di lapangan masih mencapai angka 40 persen bahkan lebih.
Angka ini jauh di atas batas maksimal 30 persen yang telah disepakati sejumlah pabrik bersama Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal.
“Kami temukan di lapangan, dan berdasarkan laporan dari para petani, masih banyak pabrik yang tidak mengindahkan instruksi dan kesepakatan bersama gubernur soal harga singkong Rp1.350 per kg dengan potongan refaksi maksimal 30 persen,” kata Mikdar, pada Senin (9/6/2025).
Menurutnya, saat menjual singkong, petani masih dipotong sampai 40 persen dan menerima harga di bawah ketentuan.
“Ini jelas sangat memberatkan mereka,” ujar Mikdar.
Persoalan lain, lanjut Mikdar, adalah ketidaksesuaian data antara laporan pabrik kepada pemerintah pusat dan kondisi riil di lapangan.
"Informasi yang kami terima menunjukkan data singkong yang dibeli pabrik tidak riil. Hal ini menjadi celah bagi pemerintah pusat untuk membuka keran impor singkong.
Akibatnya, harga singkong lokal menjadi murah dan kalah bersaing dengan singkong impor," ungkap politisi Gerindra tersebut.
Menurut Mikdar, kondisi ini sangat merugikan petani singkong yang selama ini sudah berada dalam tekanan akibat harga yang rendah dan potongan yang tinggi.
Ia menilai perlu ada langkah konkret dari pemerintah pusat untuk memastikan data dan kondisi petani di lapangan benar-benar terpantau dengan baik.
“Kami minta pemerintah pusat segera turun langsung ke Lampung. Lihat bagaimana sulitnya petani bertahan dan lakukan pendataan ulang terhadap laporan dari industri,” tegasnya.
Dia juga menegaskan, sebagaimana kesepakatan bersama gubernur, bakal ada sanksi bagi industri yang melanggar kesepakatan.
"Hal ini akan kami sampaikan ke Pemerintah Provinsi, sesuai visi-misi pemerintah untuk mensejahterakan petani," ucapnya.
Pansus Tataniaga Singkong DPRD Lampung dibentuk sebagai respons atas berbagai keluhan petani terkait ketimpangan dalam tata niaga singkong.
Mikdar menegaskan pihaknya akan terus mengawal isu ini dan mendesak adanya sanksi tegas terhadap pabrik-pabrik yang tidak mematuhi kebijakan pemerintah.
“Kalau ada pabrik yang langgar instruksi, harus ada tindakan. Jangan biarkan petani terus yang jadi korban,” pungkasnya.
( Tribunlampung.co.id / Riyo Pratama / Hurri Agusto)
Eks Bupati Way Kanan Dicecar 30 Pertanyaan oleh Kejati Lampung, Kasus Dugaan Mafia Tanah |
![]() |
---|
APCI Lampung Tegaskan Pengambilan Pajero oleh Anggotanya Sesuai SOP |
![]() |
---|
Penerapan Geographic Information System di Pringsewu Terkendala Tenaga Ahli |
![]() |
---|
Petugas Polres Tanggamus Lewati Medan Terjal demi Evakuasi Mayat di Jurang |
![]() |
---|
Daftar 56 SPPG Dinonaktifkan Imbas Keracunan MBG, Termasuk 2 di Lampung |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.