Berita Lampung

Pengamat Itera: Tarif Tol Bakter Naik Bisa Picu Kekhawatiran Masyarakat

Konsekuensi dari kenaikan tarif Tol Bakauheni-Terbanggi Besar berpotensi menurunkan jumlah pengguna jalan tol.

|
Penulis: Hurri Agusto | Editor: Daniel Tri Hardanto
Istimewa
PENGGUNA TURUN - Pengamat transportasi Itera M Abi Berkah Nadi mengatakan, konsekuensi dari kenaikan tarif Tol Bakauheni-Terbanggi Besar berpotensi menurunkan jumlah pengguna jalan tol. 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Rencana kenaikan tarif ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar (Bakter) bisa memicu kekhawatiran masyarakat, utamanya minat dalam menggunakan jalan tol Trans Sumatera. 

Diketahui, PT Bakauheni Terbanggi Besar Toll (BTB) mengumumkan rencana penyesuaian tarif pada ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar (Bakter) per 27 November 2025 mendatang. 

Kenaikannya sebesar Rp 500 per kilometer.

Pada tarif terbaru ini, harga termurah yang harus dibayar pengguna jalan untuk melewati ruas ini yakni Rp 16.000 (kendaraan golongan I), Rp 24.000 (golongan II dan III), dan Rp 32.000 (golongan IV dan V). 

Sementara tarif tertinggi yakni Rp 254.000 (kendaraan golongan I), Rp 381.000 (golongan II dan III), dan Rp 507.500 (golongan IV dan V).

Menurut pengamat transportasi Itera M Abi Berkah Nadi, konsekuensi dari kenaikan tarif Tol Bakauheni-Terbanggi Besar berpotensi menurunkan jumlah pengguna jalan tol, terutama di kalangan pengguna jasa logistik dan angkutan umum.

“Kenaikan tarif tol diperkirakan bertujuan untuk menutupi biaya pengelolaan dan pengembalian modal pengelola,” kata Abi, Rabu (19/11/2025). 

Namun, kata Abi, kebijakan ini berpotensi mengabaikan dampak jangka panjang bagi para pengguna jalan.

“Secara teknis, dampak kenaikan tarif tol akan langsung dirasakan oleh pelaku pengguna jasa atau logistik, termasuk angkutan umum seperti bus dan Damri,” jelas Abi. 

Dia menjelaskan, untuk jangka pendek, dampaknya tentu ini akan menaikkan tarif atau biaya dari pengguna jasa logistik, walaupun tidak terlalu signifikan.

Menurut Abi, persoalan utama terletak pada dampak jangka panjang. 

“Tentu keputusan ini akan ada kontroversi, termasuk kemungkinan adanya jalur lintas nasional akan hidup kembali karena orang enggan masuk jalan tol Sumatera,” imbuhnya.

Selain itu, penting untuk mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat dalam penetapan tarif. 

Hal itu merujuk pada dua indikator kunci dalam ilmu transportasi, yakni ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP).

“Dilihat dari sisi transportasi, ada yang namanya ability to pay dan willingness to pay. Seberapa besar kemampuan pengguna untuk membayar kenaikan tarif yang akan diterapkan,” sebut dia.

“Yang saya khawatirkan, jika kajian-kajian itu tidak diterapkan, maka ini akan menjadi masalah ke depan yang membuat menurunnya minat masyarakat, khususnya menengah ke bawah, untuk menggunakan jalan tol,” lanjutnya.

“Saya merekomendasikan perlunya sinergi dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan  BUMN (pihak pengelola tol) dalam mengelola anggaran dan mempertimbangkan pengembalian modal dan pengelolaan Jalan Tol Trans Sumatera. Misal ada bantuan subsidi dari pemerintah untuk anggaran pengelolaan jalan tol di Sumatera, maka itu akan sangat baik,” jelas Abi.

Namun, jika penurunan tarif tidak dapat dilakukan, Abi menekankan pentingnya koordinasi dan peran penting antarstakeholder terkait untuk mencapai titik temu yang adil dan meminimalkan dampak negatif terhadap minat penggunaan jalan tol. 

“Ketika memang (tarif tol) tidak bisa diturunkan, maka perlu adanya koordinasi dan peran penting antar stakeholder terkait, mulai dari pemerintah, pengelola, dan terutama pengguna jalan tol agar ada titik temu,” tandasnya. 

(Tribunlampung.co.id/Hurri Agusto)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved