Pembunuh Bocah Pas Pergi Mengaji Divonis Bui 10 Tahun, Ibu Korban Histeris Tak Terima

RH (18), pembunuh MA (10), bocah perempuan yang ditemukan tewas saat hendak berangkat mengaji, akhirnya mendapatkan hukumannya dari majelis hakim.

Tangkapan Layar Video Viral
PEMBUNUHAN BOCAH - RH (18), pembunuh MA (10), bocah perempuan yang ditemukan tewas saat hendak berangkat mengaji, akhirnya mendapatkan hukumannya dari majelis hakim. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kolaka menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap RH, Kamis (2/10/2025). Keputusan hakim terhadap pelaku pembunuhan keji anak perempuan inisial MA (10) di Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara memicu perdebatan sengit. Hukuman ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 7 tahun 6 bulan, tetapi dianggap jauh dari kata adil oleh keluarga korban. 

Inilah yang menjadi dasar hukum bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka dalam menetapkan tuntutannya.

Penjelasan JPU dan Asas Lex Specialis

Kepala Seksi Intelijen Kejari Kolaka, Bustanil Arifin, menjelaskan tuntutan jaksa didasarkan pada prinsip hukum lex specialis derogat legi generali.

Asas ini berarti hukum yang bersifat khusus (dalam hal ini UU SPPA) akan mengesampingkan hukum yang bersifat umum (KUHP).

Dengan demikian, meskipun perbuatan RH tergolong sadis dan memenuhi unsur pembunuhan berencana, penegak hukum wajib menggunakan UU SPPA karena pelaku masih berstatus anak saat kejahatan dilakukan.

Tuntutan 7 tahun 6 bulan yang diajukan JPU didasarkan pada Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak dan Pasal 340 KUHP, tetapi penerapan hukuman maksimal tetap disesuaikan dengan aturan khusus yang berlaku untuk anak.

"Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa," ujar Bustanil.

Sementara itu, keluarga korban, melalui kerabatnya Andi Arjan Syaputra, tidak puas dengan putusan ini.

Mereka berpendapat bahwa RH seharusnya dihukum lebih berat karena telah berumur 18 tahun pada saat proses peradilan berlangsung.

Kekecewaan ini mendorong mereka untuk menyuarakan revisi Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya terkait batasan usia.

"Kami keluarga tidak akan berhenti bersuara agar Undang-Undang Perlindungan Anak ini mohon direvisi kembali. Usia 17 tahun sudah bisa membuat KTP,” kata Arjan usai persidangan.

Mereka merasa bahwa usia 17 tahun, yang sudah bisa membuat KTP, seharusnya sudah dianggap dewasa dalam hal pertanggungjawaban pidana untuk kejahatan seberat ini.

Kasus ini menjadi cerminan dari kompleksitas sistem hukum pidana anak di Indonesia.

Di satu sisi, undang-undang berupaya melindungi hak-hak anak dan memberikan kesempatan untuk rehabilitasi.

Namun di sisi lain, hal ini sering kali menimbulkan rasa ketidakadilan bagi keluarga korban yang merasa hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan penderitaan dan kerugian yang mereka alami.

Sumber: Tribun sultra
Halaman 2 dari 4
Tags
pembunuh
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved