Peran Adik Jusuf Kalla di Kasus Korupsi PLTU Rp 1,2 Triliun, Kini Resmi Tersangka

Terungkap peran Halim Kalla (HK), adik kandung Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat.

Tribunnews/Reynas Abdilla
TETAPKAN 4 TERSANGKA - Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo menetapkan empat orang tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat 2x50 megawatt, Kabupaten Mengkawah, Kalimantan Barat, tahun 2008-2018. Keterangan disampaikan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025). Satu di antara tersangka yakni Halim Kalla (HK), adik kandung Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla. 

"Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan pandatangan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.848.341 USD dan 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp1,254 triliun," paparnya.

Dia menjabarkan, tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012. 

Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan, lalu telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018.

"Fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta USD," pungkasnya.

Adapun kasus ini merupakan take over dari Polda Kalbar yang telah melakukan penyelidikan sejak tahun 2021 lalu.

Kemudian, kasus korupsi tersebut dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.

Penyalahgunaan Wewenang

Sementara itu, Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025), menyebut, ada penyalahgunaan wewenang dalam kasus tersebut.

“Proyek PLTU diduga melawan hukum penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” ujar Cahyono.

Konsorsium KSO BRN ditunjuk sebagai pemenang lelang berdasarkan Surat Persetujuan Direksi PLN Nomor 178 Tahun 2008.

Namun, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa KSO BRN tidak memenuhi sejumlah persyaratan penting.

Di antaranya, tidak memiliki pengalaman membangun PLTU minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan tahun 2007 (audited), laba bersih konsorsium tahun 2006 tidak mencapai batas minimum Rp7,5 miliar, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA atau surat pernyataan penanggung jawab.

Peserta tambahan dalam konsorsium, OJSC POWER MACHINES yang memiliki pengalaman PLTU, baru dimasukkan kemudian.

Kontrak pekerjaan ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR selaku Dirut PT BRN dan FM selaku Dirut PLN, dengan nilai USD 80 juta dan Rp507 miliar.

Namun, pada akhir 2009, seluruh pekerjaan dialihkan ke PT PI dan perusahaan energi asal Tiongkok, QJPSE.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved