Tribun Bandar Lampung

Berdalih Mau Berobat, Napi Lapas Kalianda Malah Hadiri Kondangan dengan Sogok Petugas

Saksi Firza dari Lapas Kalianda mengaku pernah mengetahui Marzuli memberikan uang Rp 5 juta sebagai uang saku untuk Muchlis Adjie.

Penulis: hanif mustafa | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribun Lampung/Hanif Mustafa
Pengadilan Negeri Kelas IIA Tanjungkarang menggelar sidang perkara peredaran narkoba di dalam Lapas Kelas IIB Kalianda dengan menghadirkan tiga terdakwa, Selasa, 9 Oktober 2018. 

Laporan Reporter Tribun Lampung Hanif Mustafa

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Pengadilan Negeri Kelas IIA Tanjungkarang menggelar sidang perkara peredaran narkoba di dalam Lapas Kelas IIB Kalianda secara terpisah, Selasa, 9 Oktober 2018.

Selain mantan Kalapas Kelas IIB Kalianda Muchlis Adjie, tiga terdakwa lainnya menjalani sidang di ruang terpisah.

Namun, dalam sidang kali ini, ketiga terdakwa diagendakan hanya mendengarkan keterangan saksi-saksi.

Ketiga tersangka tersebut yakni Marzuli YS (37), napi Lapas Kalianda; Rechal Oksa Haris (32), sipir Lapas Kalianda; dan Adi Setiawan (36), oknum polisi.

Jaksa penuntut umum (JPU) Roosman Yusa mendatangkan delapan saksi.

Saksi tersebut berasal dari BNNP Lampung dan Lapas Kalianda.

Saksi Firza dari Lapas Kalianda mengaku pernah mengetahui Marzuli memberikan uang Rp 5 juta sebagai uang saku untuk Muchlis Adjie.

“Pernah dulu nitip uang Rp 5 juta,” ungkap Firza di hadapan majelis hakim.

Sumaryo, petugas Lapas Kalianda, mengaku pernah diberi uang saat ditugaskan Kalapas untuk mengantarkan Marzuli berobat ke rumah sakit.

Baca: Eks Kalapas Kalianda Muchlis Adjie: Bukan Hanya Saya yang Berikan Fasilitas Mewah kepada Narapidana

“Tapi, (ternyata) tidak berobat. (Marzuli) Malah pergi ke kondangan. Dikasih Rp 1 juta. Saya gak bisa bantah, karena yang menugaskan saya Pak Kalapas sendiri,” ungkapnya dengan lirih.

Sementara mantan anggota Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kelas IIA Kalianda Sutardjo mengaku tahu Marzuli mendapatkan fasilistas istimewa, termasuk ponsel.

Pengadilan Negeri Kelas IIA Tanjungkarang menggelar sidang perkara peredaran narkoba di dalam Lapas Kelas IIB Kalianda dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi, Selasa, 9 Oktober 2018.
Pengadilan Negeri Kelas IIA Tanjungkarang menggelar sidang perkara peredaran narkoba di dalam Lapas Kelas IIB Kalianda dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi, Selasa, 9 Oktober 2018. (Tribun Lampung/Hanif Mustafa)

“Ya tahu. Tapi, dibiarkan karena dia (Marzuli) mempunyai kedekatan khusus dengan Kalapas,” sebutnya.

Jaksa penuntut umum Roosman Yusa menuturkan, ketiga terdakwa diancam pidana pasal 114 ayat 2 jo pasal 132 ayat 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau pasal 112 ayat 2 jo pasal 132 ayat 1 UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Menurut Yusa, ketiganya disangkakan ancaman tersebut karena perbuatan yang dilakukan ketiganya bermula saat terdakwa Adi Setiawan bersama Marzuli, Rechal, Muchlis Adjie (dakwaan terpisah), Aling (DPO), M Ciko Arrasyd alias Ciko (DPO), dan Hendri Winta (tewas saat ditangkap), melakukan permufakatan jahat menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar menyerahkan, menerima narkotika golongan I melebihi 5 gram berupa sabu seberat 2,782,38 dan 4.000 butir ekstasi dengan berat 1,845,35 gram, Minggu, 6 Mei 2018. 

Mantan Kalapas Kelas IIB Kalianda Muchlis Adjie (51) mengaku memberikan fasilitas mewah kepada narapidana. Namun, bukan hanya dia yang melakukannya.

Hal ini diungkapkan Muchlis setelah menjalani sidang perdana di Ruang Yustitia Pengadilan Negeri Kelas IIA Tanjungkarang, Selasa, 9 Oktober 2018.

Baca: Sidang Perdana Narkoba Eks Kalapas Kalianda, Jaksa Beberkan Fakta-fakta Mengejutkan

“(Soal fasilitas) Ya tidak benar. Artinya, bukan saya saja yang memberikan fasilitas,” ungkap Muchlis sembari berjalan cepat ke arah ruang tahanan.

Saat ditanya apakan ada orang lain yang ikut ”bermain”, Muchlis hanya mengiyakan.

Namun, ia tak mau mengungkap siapa yang dimaksudnya.

Meski demikian, Muchlis mengaku keberatan dengan materi dakwaan yang disangkakan kepadanya.

“Saya keberatan. Tapi, yang jelas akan saya konsultasikan dulu kepada pengacara, karena ini bukan zamannya saya juga,” tandasnya.

Mantan Kalapas Kelas IIB Kalianda Muchlis Adjie (51) menjalani sidang perdana kasus dugaan pemufakatan jahat dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Kelas IIA Tanjungkarang, Selasa, 9 Oktober 2018.

Mengenakan rompi merah tahanan Kejaksaan Tinggi Lampung, Muchlis nampak tenang saat persidangan dibuka majelis hakim yang dipimpin Mansyur.

"Sehat? Sudah terima dakwaan? Dan penasihat hukumnya ada tidak?" tanya Mansyur kepada Muchlis.

Dengan lantang, Muchlis mengaku dalam keadaan sehat dan sudah menerima surat dakwaan.

"Kuasa hukum ada. Tapi, kebetulan hari ini tidak datang karena masih di luar kota. Yang jelas didampingi," jawab Muchlis.

Selanjutnya, jaksa penuntut umum (JPU) Roosman Yusa membacakan surat dakwaan sesuai agenda sidang.

Dalam dakwaan tersebut, jaksa membeberkan sejumlah fakta mengejutkan.

Yusa dalam dakwaannya mengatakan bahwa Muchlis bersama Marzuli (narapidana kasus narkoba di Lapas Kalianda), Rechal Oksa Hariz (sipir Lapas Kalianda), dan Adi Setiawan sejak Januari hingga Mei di Lapas Kalianda melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika.

"Berupa sabu dengan berat 2.782,38 gram dan 4.000 butir ekstasi," ungkap Yusa dalam persidangan.

Adapun pemufakatan jahat ini, kata JPU, berawal dari Muchlis yang saat itu masih menjabat Kalapas menerima tamu bernama Sumiati, keluarga Marzuli, bersama Andriyanni Dewi, istri mantan Kalapas Kalianda sebelumnya, Gunawan Sutrisnadi.

"Kedatangannya agar Marzuli tidak dipindahkan dari Lapas Kalianda lantaran saat itu overkapasitas," ungkapnya.

Baca: Muchlis Adjie Jalani Sidang Perdana Dugaan Peredaran Narkoba di Lapas Kalianda

Terdakwa pun menyanggupi permintaan tersebut.

Terdakwa juga memberikan fasilitas kepada Marzuli dengan menempati sel bersama tiga orang narapidana.

Padahal, seharusnya setiap sel ditempati 20 narapidana.

"Selain itu, Marzuli juga diperbolehkan menerima tamu, walaupun itu bukan jam besuk. Atas kemudahan tersebut, terdakwa mendapatkan imbalan berupa uang senilai Rp 5 juta. Kemudian beberapa kali menerima uang dari Marzuli dengan nilai bervariatif, yakni Rp 2 juta hingga Rp 10 juta," lanjut JPU.

Kemudian pada hari Sabtu, 5 Mei 2018, Marzuli mendapatkan fasilitas spesial.

Ia diperbolehkan menggunakan ponsel untuk menghubungi Adi Setiawan.

Marzuli menyuruh Adi untuk mengambil narkoba di sebuah rumah makan di Kalianda.

“Barang di dalam brankas berkode, kemudian dikirim ke Lapas Kalianda. Di parkiran barang tersebut diterima oleh Oksa, yang lalu diserahkan kepada Marzuli di dalam lapas. Di dalam lapas, mereka membagi narkoba yang ada di dalam brankas tersebut,” ucapnya.

Selanjutnya, pada hari Minggu, 6 Mei 2018 sekitar pukul 05.00 WIB, Marzuli kembali menyuruh Adi mengambil sabu dan ekstasi.

“Kemudian oleh Adi diserahkan satu bungkus sabu kepada Chiko, yang saat ini masih DPO. Dari penyerahan ini, Adi mendapat uang sebesar Rp 45 juta. Lalu Adi menunggu lagi di sebuah hotel untuk diserahkan kepada Hendri Winata,” tuturnya.

Namun saat akan menyerahkan narkoba kepada Hendri, petugas BNNP Lampung menangkap keduanya.

Baca: Kasus Penyelundupan Sabu di Lapas Kalianda, Kejari Susun Dakwaan Eks Kalapas Muchlis

Nasib nahas dialami Hendri. Karena melawan, ia tewas usai ditembak petugas.

“Atas perbuatan memberi keleluasaan tersebut, maka Muchlis diancam dengan pasal 114 ayat 2 jo pasal 132 ayat 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau pasal 132 ayat 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” tutupnya.

Setelah mendengar dakwaan, ketua majelis hakim Masyur bertanya apakah terdakwa keberatan dengan dakwaan tersebut.

“Sudah dengar dan mengerti terhadap dakwaan? Apakah akan mengajukan esepsi?” tanya Mansyur.

“Saya konsultasikan dulu,” jawab Muchlis.

Masyur pun memberi kesempatan kepada Muchlis untuk berkonsultasi dengan kuasa hukumnya dan menunda sidang hingga pekan depan.

“Karena keberatan dan eksepsi adalah hak terdakwa, nanti kami berikan waktu seminggu. Kalau tidak ada, langsung pembuktian. Kecuali kalau keberatan. Maka sidang ditunda seminggu lagi. Tolong sediakan kuasa hukum,” tandasnya. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved