Monas yang Tak Lagi Sakral hanya Sebagai Tempat Rekreasi

Soekarno membuat kawasan Monas sebagai pusat ketenangan kota di mana setiap pengunjung bisa belajar tentang Indonesia

Editor: wakos reza gautama
Kompas.com/Cynthia Lova
Revitalisasi Monas di era Gubernur DKI Anies Baswedan 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Monas kini tak lagi sakral.

Monas saat ini hanya menjadi tempat untuk menampung berbagai kepentingan nir makna.

Padahal tujuan pendirian Monas bukanlah itu.

Presiden ke-1 RI Soekarno membangun Monas untuk tempat merenung dan belajar mengenai Indonesia. 

Kini Monas mulai berbenah. Di tangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Monas akan direvitalisasi. 

Ketika Pohon-pohon di Monas Ditebang di Era Anies Baswedan

Inilah Sosok Penyumbang Emas Monas, Dipenjara dan Semua Hartanya Dirampas Soeharto

Sebut Anggota Dewan Tak Layak Sarapan Dengan Ubi, Wakil Rakyat Berang, Lempar Makanan ke Lantai

Soal Harun Masiku, Desmond Lebih Percaya Omongan Dirjen Imigrasi Dibanding Yasonna

Monas akan dijadikan sebagai ruang publik yang lebih lagi. 

Inilah yang menurut Sejarawan JJ Rizal, salah paham.

Rizal mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta salah paham jika hendak merevitalisasi Monas dengan cara penebangan pohon dan membuat kawasan Monas sangat terbuka untuk berbagai kegiatan.

"Salah paham misalnya begini. Monas itu ruang sakral, jadi di samping keramaian (kota Jakarta), kita perlu kesunyian untuk merenung," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (23/1/2020).

JJ Rizal menjelaskan, Soekarno membuat kawasan Monas sebagai pusat ketenangan kota di mana setiap pengunjung bisa belajar tentang Indonesia di Monas.

Monas itu sebagai senter, kata dia, pusat dari jiwa nasional Indonesia di mana di dalam Monas bisa dilihat bagaimana perjalanan Indonesia terbentuk.

"Karena itu Monas itu dibayangkan menjadi ruang orang bisa masuk belajar menjadi orang Indonesia," kata dia.

Namun saat ini, kata Rizal, makna dari sebuah kawasan Monumen Nasional bergeser menjadi ruang publik tanpa makna dan sebatas menjadi tempat rekreasi.

"Segala kepentingan bisa masuk, mulai dari zikir bersama, ultah TNI, perayaan natal, kampanye produk biskuit bisa di situ. Itu menurut saya, salah paham," kata dia.

Rizal mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia hanya mengerti Monas sekadar bangunan yang menjulang tinggi, tanpa ada makna apapun.

Tidak sedikit, kata dia, orang-orang Indonesia tidak tahu ada sebuah museum diorama perjuangan kemerdekaan Indonesia di bawah bangunan Monas.

"Bung Karno pernah bilang, 'kalau kamu masuk (ke Monas) kamu langsung menuju ke ruang bawah tanahnya, karena di situ ada Museum Monumen Nasional di mana ada diorama, dan di sana kita bisa lihat apa itu Indonesia'," tutur Rizal.

Sebagai informasi, Pemprov DKI Jakarta sedang merevitalisasi kawasan Monas, Jakarta Pusat.

Menurut rencana, revitalisasi dikerjakan selama tiga tahun, yakni 2019-2021.

Dalam rancangan revitalisasi Monas, Pemprov DKI akan membangun lapangan plaza sebagai wadah ekspresi warga di setiap sisi Monas, baik di wilayah selatan, timur, maupun barat.

Pemprov DKI juga akan membangun kolam yang dapat merefleksikan bayangan Tugu Monas.

Revitalisasi ini bersamaan dengan revitalisasi Masjid Istiqlal dan kawasan di sekitar Lapangan Banteng.

Ketiga wilayah tersebut nantinya akan terhubung dengan jalur pejalan kaki yang lebar dan rapi.

Revitalisasi mulai dikerjakan pada November 2019.

Namun, proyek ini baru menjadi sorotan akhir-akhir ini karena adanya penebangan pohon demi proyek tersebut.

Sejarah Monas

Ide mendirikan sebuah monumen nasional di Jakarta tidak datang dari Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.

Ide itu juga bukan datang seorang menteri atau pejabat teras di sekitar Soekarno.

Gagasan tersebut datang dari masyarakat biasa.

Demikian diungkapkan Sudiro, wali kota (sekarang gubernur ) Jakarta Raya periode 1953-1960.

Pria yang akrab disapa Pak Diro itu pernah menulis sebuah artikel tentang asal mula Monumen Nasional (Monas) di Jakarta Pusat.

Artikel itu diterbitkan harian Kompas pada 18 Agustus 1971.

Dia menulis, ide monumen nasional bukan lahir dari Soekarno atau pejabat negara lainnya seperti menteri, DPR dan lainnya.

Ide Sarwoko

Monas lahir dari orang biasa, seorang warga negara sedehana dari Jakarta bernama Sarwoko Martokusumo.

"Saya didatangi Sarwoko yang telah lama saya kenal khusus dalam Kepaduan Bangsa Indonesia dari zaman penjajahan dulu," beber Sudiro dalam tulisan itu.

Sarwoko bercerita tentang ide sebuah tugu setinggi 45 meter yang dia cita-citakan sebagai tempat menyimpan Bendera Pusaka Merah Putih disetujui banyak pihak.

Sarwoko saat itu mencoba membuat "Panitia Tugu Nasional".

Sudiro mengaku tertarik dengan ide kawan dekatnya itu.

Namun ketika Sudiro ditawari jadi ketua panitia, dia menolak dan beralasan tugu tersebut tetap dibuat orang-orang swasta lainnya, bukan pihak pemerintah.

Juga soal biaya, Sudiro mengatakan biaya harus dikumpulkan dari masyarakat sendiri, bukan dari program pemerintah.

Di sisi lain, Sudiro yang menjabat sebagai wali kota Jakarta Raya berjanji akan memperjuangkan program Tugu Nasional tersebut dalam rapat-rapat pembahasan program pemerintahan.

Didengar Soekarno

Tak disangka, program tersebut sampai ke telinga Presiden Soekarno.

Saat itu, Bung Karno sangat tertarik dengan ide "Tugu Nasional" sebagai pengingat dan pembangkit semangat pemuda Indonesia di masa depan atas patriot bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.

Ide awal tugu setinggi 45 meter kemudian diubah Soekarno yang menginginkan tinggi Tugu Monas menjadi lebih dari 100 meter.

Soekarno juga mengubah apa yang sebelumnya jadi rencana Panitia Tugu Nasional yang merencanakan Tugu Nasional hanya sebagai tempat penyimpanan bendera pusaka Merah Putih.

"Di dalamnya harus ada museumnya, dindingnya harus diukir, harus ada lift yang dapat membawa pengunjung untuk melihat Kota Jakarta dari atas puncak Tugu," kata Sudiro mengulang perintah Soekarno.

Permintaan Presiden tersebut bikin Panitia Tugu Monas pening kepalanya.

Ide awal yang sederhana kini menjadi fantastis karena campur tangan Bung Karno.

Akhirnya proyek Monumen Nasional tersebut resmi diambil alih pemerintah tahun 1959.

Ini setelah keluar Keputusan Presiden RI Tanggal 30 Agustus 1959 yang melengserkan satu persatu panitia awal yang sudah terbentuk dan menempatkan orang-orang pemerintahan di panitia pembangunan Monumen Nasional tersebut.

Belum genap dua tahun, pada 8 April 1961 kembali dikeluarkan Keputusan Presiden untuk mengganti seluruh panitia lama dan memasukan pejabat-pejabat pemerintahan dalam posisi panitia yang baru.

Soekarno kemudian menghendaki pembangunan Monas dilakukan sendiri oleh para pejuang Indonesia.

Tetapi kehendak itu kemudian berubah di awal tahun 1962.

Mesin-mesin dan arsitek dari Jepang mengambil alih pengerjaan Monumen Nasional.

"(Monumen Nasional) sebagian pekerjaan dilakukan oleh tim pekerja Jepang. (Monas dikerjakan) justru oleh suatu bangsa yang pernah menjajah Rakyat Indonesia," tulis Sudiro. (kompas.com)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved