Polwan Jadi Kapolda, Sejarah Polwan Berawal dari 6 Wanita hingga Ada Jadi Jenderal di Polda Banten
Polwan Jadi Kapolda: Berawal dari 6 Wanita hingga Ada yang Jadi Jenderal Jabat Kapolda Banten
Penulis: heri | Editor: Heribertus Sulis
Putri-putri itu adalah tamatan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat sekolah menengah pertama.
Bahkan, ada yang sudah bekerja di berbagai instansi, jadi guru atau perawat.
Cerita masuknya enam prajurit wanita tersebut ke sekolah polisi tidak lepas dari kebutuhan zaman perang saat itu.
Dikutip dari harian Kompas 7 Mei 1993, kota Bukittinggi pasca Agustus 1945, menjadi salah satu kota yang dibanjiri para pengungsi dari Medan, Pematang Siantar, Pekanbaru, bahkan Singapura.
Meski Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya saat itu, Belanda masih berusaha kembali menjajah.
Muncullah dua kali agresi militer dan perang gerilya.
Pertempuran terjadi di berbagai kota.
Bukittinggi masih dikuasai.
Namun, kota ini harus waspada akan masuknya mata-mata musuh lewat para pengungsi.
Maka dari itu, setiap laki-laki dan perempuan yang dicurigai diperiksa secara ketat.
Barang yang mempunyai tiga warna, merah-putih-biru, walau ketiga warna tersebut terpisah satu sama lain, yang bersangkutan bisa dituduh sebagai mata-mata Belanda atau NICA (Nederlands Indies Civil Administration).
Apalagi jika ada cap tato ditemukan di bagian-bagian tubuh, bisa dijadikan indikasi.
Di masa-masa itulah, terasa ada kejanggalan ketika polisi pria memeriksa tubuh wanita yang bukan muhrimnya.
Apalagi, mungkin saja ada ada cap sebagai tanda kaki tangan musuh tersuruk pada bagian-bagian yang sangat terlarang.
Maka dibukalah peluang bagi wanita Sumbar untuk menjadi Polisi Wanita (Polwan).