Sidang Kasus Dugaan Suap Lampura

Sebut Ada Fee 20 Persen, Kasi di Diskes Lampung Utara Bongkar Aliran Dana dari Rekanan

Terkait aliran sejumlah uang fee tersebut, Juliansyah mengaku mendapat perintah dari Kadiskes Lampung Utara pada tahun 2019.

Penulis: hanif mustafa | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/Deni Saputra
Sidang online kasus dugaan suap fee proyek Lampung Utara digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (2/4/2020). 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Kasus perkara dugaan suap proyek di Lampung Utara ditengarai tidak hanya melibatkan Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan.

Ternyata, Dinas Kesehatan Lampung Utara juga disebut meminta fee dari setiap proyek yang dikerjakan oleh rekanan.

Hal ini diungkapkan JPU Ikhsan Fernandi saat membacakan BAP Juliansyah Imran selaku mantan Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Kesehatan Lampung Utara dalam persidangan online yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (2/4/2020).

"Saya bacakan BAP benar memang ada kewajiban penyerahan fee di dinas kesehatan sebesar 20 persen kepada Kadiskes dokter Maya (Maya Mettisa) untuk kepentingan bupati. Apakah benar ini kepentingan bupati?" tanya jaksa.

Syahbudin Terima Duit Fee Proyek lewat Istrinya, Rp 1 Miliar Dibawa Pulang ke Rumah

Manfaatkan Jabatan Istri, Syahbudin Terima Duit Ratusan Juta dari Candra Safari

Pasien Positif Corona di Lampung Bertambah 3, Ada dari Lampung Barat dan Lampung Tengah

Ada Pasien Positif Corona, Lampung Barat Siap Berlakukan Local Lockdown

"Ya saya gak tahu. Hanya saya dimintai keterangan oleh penyidik. Tapi bahasanya dibuat seperti itu," jawab Juliansyah enteng.

Terkait aliran sejumlah uang fee tersebut, Juliansyah mengaku mendapat perintah dari Kadiskes Lampung Utara pada tahun 2019.

"Jadi saya dipanggil dokter Maya. 'Nanti ada Ami (Raden Syahril) dan tolong serahkan bungkusan ke Ami.' Saya gak tahu isinya. Tapi yang pasti duit," terang Juliansyah.

"Berapa isinya?" timpal JPU.

"Saya gak tahu," balas Juliansyah.

Juliansyah tak mengetahui pasti mengapa Kadiskes memerintahkannya untuk menyerahkan bungkusan berisi uang kepada Raden Syahril.

"Saya gak tahu kenapa. Yang jelas, saya diperintah langsung oleh Bu Kadis. Gak lama saya kemudian saya ditelepon Ami, dan saya janjian di Bandar Lampung untuk ketemuan di sebelum Bagas Raya. Gak ada komunikasi saat penyerahan. Hanya langsung menyerahkan titipan ke Bu Kadis," beber Juliansyah.

Sebelum itu, tepatnya pada 2017, Juliansyah mengaku pernah bertanggung jawab mengambil sejumlah uang fee proyek kepada rekanan.

"Kurang lebih lima sampai enam (rekanan)," sebutnya.

Untuk mempersingkat waktu, JPU pun membacakan BAP.

Disebutkan bahwa selama tahun 2017 Juliansyah menarik uang Rp 200 juta kepada Akhyar, Herman Rp 100 juta, Hermansyah Rp 100 juta, Didi Rp 50 juta, Satori Rp 40 juta, dan Ozi Rp 60 juta.

"Iya perkiraan total Rp 600 juta. Setelah itu dikasihkan ke Bu Kadis," sebutnya.

"Ini perlu dipertanyakan lagi. Pagu proyek Rp 19 miliar dan fee sekitar 20 persen. Jadi total ada sekitar Rp 4 miliar. Pastinya ada sisa Rp 34 miliar. Nah, siapa yang ngambil? Anda yang ngambil Rp 600 juta?" cetus anggota majelis hakim Baharudin Naim.

Juliansyah hanya diam.

Ia lalu menjawab bahwa aliran dana tersebut langsung diserahkan ke Kadiskes Maya.

"Saya tahunya karena melihat rekanan datang langsung ke Kadiskes," tandasnya.

Sementara itu, Raden Syahril alias Ami menegaskan bahwa ia tak pernah menerima titipan uang dari Juliansyah.

"Sumpah demi Tuhan. Melainkan Juliansyah menarik kembali uang titipan dari dokter Maya," kata Ami.

Syahbudin Manfaatkan Jabatan Istri

Mantan Kepala Dinas PUPR Lampung Utara Syahbudin memanfaatkan jabatan istrinya untuk menerima aliran dana suap proyek.

Syahbudin beberapa kali menerima uang dari Candra Safari.

Pertama, Candra Safari menyerahkan uang Rp 350 juta kepada Syahbudin melalui mahasiswa Teknik Sipil Universitas Malahayati bernama Reza Giovana.

Kedua, Syahbudin juga pernah menerima uang Rp 100 juta dari Candra Safari.

Kali ini, ia meminta tolong kepada Evan Dwi Kurniawan, asisten dosen Teknik Sipil Universitas Malahayati Bandar Lampung.

Hal ini terungkap dalam kesaksian Evan Dwi Kurniawan dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (2/4/2020).

Sebagai bawahan, Evan tak kuasa menolak permintaan Rina Febrina yang merupakan dekan FT Universitas Malahayati.

"Saya pernah dimintai tolong. Awalnya Bu Rina (Rina Febrina, istri Syahbudin) telepon saya jika suaminya minta tolong. Gak lama Pak Syahbudin telepon minta tolong mengambil sejumlah uang di Candra (Candra Safari) pada bulan Maret, April 2019," kata Evan.

Evan mendapat nomor rekanan Candra Safari dan melakukan komunikasi.

"Singkat cerita, saya janjian di Bank BRI dekat RS Advent. Itu pas hujan. Saya neduh gak jauh. Katanya Pak Candra di jalur RS Advent. Akhirnya saya nyebrang," sebutnya.

Evan pun langsung memasuki mobil Candra Safari.

Di dalam mobil ia menerima bungkusan plastik hitam.

"Dan waktunya gak sampai satu menit. Saya tahunya itu akan ada penyerahan uang Rp 100 juta. Itu kata Pak Syahbudin. Kemudian saya langsung ke rumah Pak Syahbudin, baru ke kosan," tandasnya.

Mantan Kadis PUPR Lampung Utara Syahbudin melibatkan istrinya saat menerima dua kali aliran dana yang diduga dari fee proyek.

Hal ini diungkapkan Rina Febrina, istri Syahbudin, saat menjadi saksi dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (2/4/2020).

Wanita yang menjabat sebagai dekan Fakultas Teknik Universitas Malahayati Bandar Lampung ini menyebutkan, pertama kali Syahbudin membawa pulang uang Rp 1 miliar lebih.

"Uang itu dibawa ke rumah. Dia bilang kalau itu uang yang akan dikembalikan ke orang. Saya bilang ini dimasukkan ke bank saja. Lalu dia bilang kalau bisa diambil sewaktu waktu gak apa-apa. Lalu saya bilang, 'iya maka saya masukkan ke bank," beber Rina.

Beberapa waktu kemudian, lanjut Rina, ia mendapat transfer Rp 500 juta dari seseorang atas arahan suaminya.

"Saya gak tahu. Katanya akan ada orang yang transfer. Saya gak tahu siapa yang transfer. Tapi saya tahunya dari rekening koran CV Tunas Jaya Utama," kata Rina.

Selanjutnya ada transferan dana lagi Rp 100 juta dari Suhaimi.

"Kemudian Rp 100 juta (masuk ke rekening) pada 20 Agustus 2019?" tanya JPU Ikhsan Fernandi.

"Iya, yang transfer Pak Suhaimi," jawab Rina.

JPU selanjutnya menanyakan uang tersebut diperuntukkan kepada siapa dan untuk siapa.

"Dia (Syahbudin) mengambil karena untuk dikembalikan," jawab Rina.

Tak puas dengan jawaban tersebut, JPU pun membacakan BAP Rina yang mana uang sebesar Rp 250 juta di rekening tersebut ditarik tunai oleh Syahbudin pada 22 Agustus 2019.

"Lalu 23 Agustus Rp 300 juta diambil Syahbudin, lalu diambil lagi Rp 50 juta. Kemudian 5 September transfer ke Fadli Ahmad Rp 260 juta, 18 September transfer ke Ahmad Unggul Rp 10 juta, lalu ambil Rp 125 juta. Ada yang lain?" tanya JPU.

"Tidak pernah. Sisa uang Rp 655 juta dan sudah disita KPK," beber Rina.

Tak cukup di situ, JPU pun membacakan BAP terkait penyerahan uang ke beberapa pihak lain, di antaranya istri-istri pejabat, termasuk baju renang hingga susu anak.

"Selain itu, dalam BAP setiap Lebaran saya berikan Rp 25 juta 2016, Rp 100 juta 2017 kepada Endah, Ibu Bupati. Rp 50 juta, Rp 100 juta kepada istri Wakil Bupati Dayu, Rp 30 juta-Rp 50 juta 2016, 2017 istri Sekda. Uang itu sumber dari siapa?" tanya JPU.

"Pak Syahbudin. Saya hanya disuruh mengantarkan. Kalau gaji dan tunjangan murni buat saya. Ini di luar gaji. Dan uang itu saya gak tahu dari siapa. Gak pernah disampaikan. Asumsi saya dari rekanan," tandas Rina.

Jaringan Terhambat

Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang beberapa kali terpaksa menskorsing jalannya sidang perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara, Kamis (2/4/2020).

Sidang digelar secara online melalui video conference.

Skorsing lantaran jaringan internet yang terhubung dengan terdakwa acapkali terputus.

"Yang Mulia, kami dari Rutan Way Huwi tak mendengar keterangan saksi, Yang Mulia," kata terdakwa Agung Ilmu Mangkunegara.

Ketua majelis hakim Efiyanto pun memangil teknisi untuk memperbaiki jaringan internet.

"Baiklah, sidang kita skors dulu. Jaringan terputus," kata Efiyanto.

Sidang online tersebut diikuti terdakwa Agung Ilmu Mangkunegara yang didampingi kuasa hukum Firdaus Barus.

Lalu saksi Candra Safari dan saksi Hendra Wijaya Saleh di Rutan Way Huwi.

Kemudian terdakwa Wan Hendri dan Syahbudin dari Lapas Rajabasa.

Sri Widodo ODP

Sementara mantan Wakil Bupati Lampung Utara Sri Widodo tidak hadir dalam persidangan sebagai saksi.

Usut punya usut, ternyata Sri Widodo menjadi tim medis penanganan wabah Covid-19 di Pemalang.

Adapun tujuh saksi yang hadir adalah Hendra Wijaya Saleh (wiraswasta), Candra Safari (wiraswasta), Susanti (wiraswasta), Rina Febrina (dekan Fakultas Teknik Universitas Malahayati), Reza Giovana (mahasiswa Teknik Sipil Universitas Malahayati), Evan Dwi Kurniawan (asisten dosen Teknik Sipil Universitas Malahayati), dan Juliansyah Imran (mantan Kasi Sarana dan Prasarana Dinas Kesehatan Lampung Utara).

Jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ikhsan Fernandi mengatakan, Sri Widodo mengajukan surat izin untuk tidak hadir.

"Satu saksi sakit. Pak Sri Widodo ada keterangannya karena dia juga dokter sehingga masuk tim Satgas Penanganan Covid di Pemalang dan masuk daftar ODP. Kemungkinan berisiko, makanya beliau tidak bisa hadir," terangnya. (Tribunlampung.co.id/Hanif Mustafa)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved