Sidang Kasus Dugaan Suap Lampura
Bantah Minta Rp 5 Miliar untuk Sahkan APBD, Eks Ketua DPRD Lampura Dianggap Beri Keterangan Palsu
Rahmat membantah adanya permintaan uang dari DPRD Lampung Utara kepada pemerintah kabupaten sebesar Rp 5 miliar untuk pengesahan APBD 2015.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Mantan Ketua DPRD Lampung Utara Rahmat Hartono dianggap memberi keterangan palsu dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Rabu (13/5/2020).
Rahmat menjadi saksi untuk perkara suap dengan terdakwa Bupati nonaktif Lampura Agung Ilmu Mangkunegara, mantan Kepala Dinas PUPR Lampura Syahbudin, dan orang kepercayaan Agung, Raden Syahril alias Ami.
Dalam sidang itu, Rahmat membantah adanya permintaan uang dari DPRD Lampung Utara kepada pemerintah kabupaten sebesar Rp 5 miliar untuk pengesahan APBD 2015.
"Benar tidak pernah? Jika pada penyampaian APBD 2015 ada permintaan Rp 5 miliar. Rinciannya, Rp 1 miliar untuk ketua Gerinda, Rp 1 miliar PDIP, Rp 1 miliar untuk Demokrat dan selebihnya anggota DPRD? Anda sudah disumpah," cecar jaksa penuntut umum (JPU) KPK Taufiq Ibnugroho.
Jaksa kemudian mengingatkan Rahmat soal adanya komunikasi dengan Kepala BPKAD Lampura Desyadi bersama Wakil Ketua III DPRD Lampura Arnol.
• BREAKING NEWS Sidang Suap Lampung Utara, Hakim Bingung 1 Saksi Selalu Hadir di Persidangan
• Pemberian Istri Syahbudin ke Istri Bupati Agung, Beli Susu dan Popok Bayi hingga Tas Mewah
• Satnarkoba Tanggamus Tangkap 1 Bandar dan 6 Pengedar
• Wanita Kalianda Diduga Jadi Korban Bius Hand Sanitizer, Saat Sadar Berada di Bandar Lampung
Namun lagi-lagi Rahmat membantah.
Rahmat mengatakan, tidak pernah ada pertemuan.
"Saksi Desyadi pernah menyampaikan intinya alokasi proyek oleh perusahaan yang terafiliasi dengan DPRD untuk APBD 2016. Intinya kalau APBD ini pengen lancar maka meminta proyek Rp 30 miliar," jelas JPU.
"Saya minta kejujuran Anda karena Desyadi sudah menjelaskan bahwa ada permintaan Rp 30 miliar, dan itu Anda yang menyampaikan," gertak JPU.
Menurut Hartono, semua itu hanya omongan dan tidak mungkin kepala daerah mau. Sebab, kalau tidak disahkan, maka DPRD tidak dapat gaji.
Ia juga membantah jika pernah menerima aliran uang dari Syahbudin dari 2016-2017.
Catatan KPK, tahun 2016 Syahbudin menyerahkan uang Rp 150 juta dan Rp 90 juta.
Tahun 2017 Syahbudin kembali menyerahkan uang Rp 90 juta ke Hartono.
"Jadi Anda tetap pada keterangan Anda terkait APBD?" sahut ketua majelis hakim Efiyanto.
"Tetap bahwa saya gak tahu," jawab Hartono.
"Anda pernah menjadi DPO tersangka perkara korupsi. Tapi di tingkat praperadilan menang. Gak mungkin kamu berhenti begitu saja. Jangan bohong," timpal Efiyanto.
Dari hasil penelusuran Tribunlampung.co.id, Hartono selaku ketua DPRD Lampung Utara pernah tersandung kasus dugaan korupsi pelebaran Jalan Jenderal Sudirman, Kecamatan Kotabumi, tahun anggaran 2012.
Hartono pun sempat menjadi DPO dan akhirnya ditangkap di TMII Jakarta pada 23 April 2015 dengan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kajari Kotabumi No: Print-01/N.8.13/Fd.1/01/2014 tanggal 9 Januari 2014.
Selain Hartono, ada tiga saksi lain yang dihadirkan.
Mereka yakni M Yamin Tohir (pensiunan PNS Lampura), Muhammad Tabroni (swasta), dan Kasubid Pembukuan BPKA Wahyu Buntor.
Paman Agung
Yamin dalam kesaksiannya mengatakan jika Agung adalah keponakannya.
Ibu kandung Agung adalah adik Yamin.
Yamin mengaku sangat dekat dengan Agung.
Ia mengaku menjadi ketua tim sukses pemenangan dalam pemilihan Bupati Agung Ilmu Mangkunegara.
"Ada tim relawan dan tim sukses, kalau saya koordinator tim sukses, kalau relawan berdiri sendiri," ungkapnya.
Meski begitu, ia mengaku tidak tahu-menahu soal jatah dan fee proyek.
Menurutnya, ia tidak mau ambil pusing soal itu karena sudah tua.
Namun kata dia, jika ada yang mengganggu Agung, dia turun.
Seperti, jika ada demo-demo, maka dia akan turun untuk meredam.
Sementara Muhammad Tabroni yang menjadi relawan pemenangan Agung mengaku pernah mendapatkan proyek pada tahun 2015.
Tobroni mengaku mendapat arahan dari Taufik jika pekerjaan tersebut bisa ditebus setelah menyetorkan uang sebesar 20 persen dari nilai pagu pekerjaan kepada Kadis PUPR.
"Kata Taufik disetorin ke kepala PU saya setuju dan saya kasih, terus yang ngerjain teman saya Hendri Karnovi, untungnya bagi dua," bebernya.
Kata Tobroni, tahun 2015 ia mendapatkan pekerjaan senilai Rp 200 juta dengan fee Rp 40 juta.
Tahun 2016, paket pekerjaan senilai Rp 700 juta dengan setor fee Rp 120 juta.
"Tahun 2018 saya gak ada lagi proyek, karena 2017 macet maka saya kapok dan itu baru dibayarkan 2018, maka dari situ gak mau lagi," katanya. (Tribunlampung.co.id/Hanif Mustafa)