Kisah Jenderal Polisi Hoegeng, Keluarkan Perabot di Rumah Dinas karena Tak Mau Terima Suap
Kapolri kelima RI, Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng Iman Santoso tutup usia pada 14 Juli 2004. Jenderal Hoegeng dikenal sebagai tokoh antikorupsi.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Pada 14 Juli 2004, atau 16 tahun silam, Kapolri kelima RI, Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng Iman Santoso tutup usia.
Dilansir dari arsip Harian Kompas, Jenderal Hoegeng mengembuskan napas terakhir pada usia 83 tahun.
Jenderal Hoegeng meninggal dunia setelah berjuang melawan stroke yang sudah lama dideritanya.
Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur menjadi tempat polisi yang dikenal jujur dan sederhana itu menutup mata.
Jenderal Hoegeng merupakan sosok yang dikenal karena integritasnya.
Karakternya yang tegas dan teguh menjaga kehormatan ini juga terukir berkat guyonan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
• Sosok Jenderal Hoegeng, Dipecat sebagai Kapolri karena Ungkap Penyelundupan Mobil Dibekingi Tentara
• Kakak Adik Tewas Berpelukan di Kamar, Ibunya Berusaha Menyelamatkan Akhirnya Meninggal
• 2 Perampok Berseragam TNI Ratusan Kali Jarah Rumah, Identitasnya Terkuak
• Misteri Kematian Editor Metro TV, Suci Kekasih Yodi Prabowo Sebut Ada Rekan Sekantor Menyukai Yodi
Dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Gus Dur mengatakan, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.
TONTON JUGA:
Baru-baru ini, guyonan Gus Dur itu kembali ramai dibicarakan setelah ada netizen yang sempat diperiksa polisi karena menulis pernyataan Gus Dur itu di akun media sosialnya.
Mengutip Harian Kompas, Gus Dur saat itu sedang menyinggung upaya pemberantasan korupsi pasca-Reformasi 1998.
Apalagi, Polri menjadi salah satu institusi yang diharapkan segera berbenah untuk menghadirkan citra yang lebih baik di masyarakat.
Lalu, seperti apa sosok Hoegeng Iman Santoso hingga begitu membekas dalam benak seorang Gus Dur?
Sepenggal kisah kejujuran Jenderal Hoegeng ditulis dengan baik oleh sejarawan Asvi Warman Adam di Harian Kompas pada 1 Juli 2004, tepat saat Hari Bhayangkara.
Asvi menulis, integritas Jenderal Hoegeng didapat sebagai bentuk penghormatan untuk sang ayah, yaitu Sukario Hatmodjo, kepala kejaksaan di Pekalongan.
Hoegeng yang memiliki nama lahir Iman Santoso ini mengagumi sang ayah, yang bersama dua rekannya menjadi trio penegak hukum di kota itu.
Dua orang lainnya adalah kepala polisi Ating Natadikusumah dan ketua pengadilan Soeprapto.
Secara khusus, Hoegeng kecil, yang kerap dipanggil bugel (gemuk), dan lama-kelamaan berubah menjadi "bugeng" hingga menjadi "hugeng", mengagumi Ating yang gagah dan suka menolong orang.
Kekaguman itu membawa Hoegeng menjadi polisi.
Setelah lulus PTIK pada 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur.
Namun, integritasnya diuji saat menjadi kepala reskrim di Sumatera Utara.
Saat itu, Hoegeng menolak rumah pribadi dan mobil yang disediakan cukong judi.
Hoegeng memilih tinggal di hotel hingga kemudian dia mendapat rumah dinas.
Setelah mendapat rumah dinas, dia juga menolak rumah itu diisi dengan segala macam perabot pemberian orang, yang dianggapnya sebagai bentuk suap.
Saat pemberi perabot itu tidak mau menerima pengembalian barang itu, Hoegeng tetap mengeluarkannya dari rumah dinas dan menaruhnya di pinggir jalan.
Seusai bertugas di Medan, dia ditempatkan di Jakarta.
Untuk sementara, perwira polisi itu bahkan rela tinggal di garasi rumah mertuanya di Menteng.
Dicopot Soeharto
Berbagai jabatan kemudian dipercayakan kepadanya, hingga akhirnya dia dipercaya sebagai Kapolri periode 1968-1971, di masa-masa awal Pemerintahan Presiden Soeharto.
Menurut Asvi, dalam tulisannya, sejumlah kasus besar terjadi di masa kepemimpinannya.
Kasus yang menarik perhatian publik antara lain pemerkosaan Sum Kuning, yang diduga melibatkan anak pejabat, penyelundup Robby Tjahyadi yang di-backing pejabat, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh taruna Akpol.
Jenderal Hoegeng digambarkan begitu bersikeras untuk menuntaskan kasus-kasus itu.
Namun, dalam tulisan Asvi Warman Adam, keuletan itu membuat dia kemudian diberhentikan oleh Soeharto sebagai Kapolri.
Dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2013) yang ditulis Suhartono, bahkan disebutkan bahwa Hoegeng sempat ingin melapor kepada Presiden Soeharto terkait penangkapan Robby Tjahyadi.
Namun, alangkah kagetnya Hoegeng saat melihat orang yang akan ditangkap itu, sudah lebih dulu berada di Jalan Cendana, kediaman Soeharto.
"Dengan segala pertimbangan, saya akhirnya balik badan dan tidak jadi melapor ke Presiden," tutur Hoegeng.
Soeharto mengganti Hoegeng dengan alasan butuh penyegaran di tubuh kepolisian.
Tetapi, fakta yang terjadi adalah Jenderal Polisi Mohamad Hasan yang ditunjuk Soeharto sebagai Kapolri saat itu berusia 53 tahun, ketika Hoegeng masih berusia 49 tahun.
Meski tidak memiliki jabatan, Hoegeng tetap menjadi figur yang dihormati masyarakat.
Dia juga kritis terhadap pemerintahan, terutama saat tergabung dalam kelompok Petisi 50.
Lalu, apa yang membuat Jenderal Hoegeng dikenal sebagai tokoh yang bersih dan antikorupsi?
Salah satunya adalah pendirian yang ditanamkan oleh ayahnya mengenai nama baik dan kehormatan: "Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan."
Ayah Hoegeng tidak sekadar memberi nasihat, tetapi bersama para sahabat ayahnya memberi teladan.
Ayahnya seorang birokrat Belanda yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi.
Tak mau dikawal
Meski menjabat sebagai Kapolri ketika itu, tak lantas membuat Jenderal Hoegeng Iman Santoso hidup bermewah-mewah.
Hoegeng semasa menjabat Kapolri tetap menjalani hidup dengan kejujuran dan kesederhanaan yang ada padanya.
Sosok Hoegeng dikenal putranya, Aditya Soetanto Hoegeng atau Didit (70) sebagai pribadi yang sangat humoris dan membumi.
Didit menceritakan, ayahnya memiliki sebuah sepeda onthel yang kerap dipakai berolahraga bila memiliki waktu senggang.
Meski berstatus sebagai Kapolri, lanjut Didit, ayahnya akan menaiki sepeda onthel tersebut untuk bepergian seorang diri, tanpa pengawalan.
"Bahkan pernah ke rumah Pak Jenderal Yusuf, di Jalan Teuku Umar, pakai sepeda itu juga," ungkap Didit kepada Tribun di Depok, Senin (6/7/2020).

"Beliau pulangnya pakai sepeda itu juga. Memang datangnya pakai itu, baliknya pakai itu. Ke pasar rumput, ke mana saja, ke banyak tempat beliau selalu naik sepeda itu, dan tidak pernah mau dikawal," sambung Didit.
Didit menjelaskan, ayahnya semasa menjabat Kapolri tak ingin dikawal lantaran tak ingin berjarak dengan masyarakat.
"Beliau mau dekat sama masyarakat. Jangan sampai ada barrier antara beliau dengan masyarakat," ujar Didit.
Didit menambahkan, semasa ayahnya menjabat Kapolri, di rumahnya tak ada pos jaga. Tak lain karena permintaan ayahnya sendiri, Jenderal Hoegeng.
Alasannya pun sama, karena Hoegeng tak ingin ada jarak antara dirinya dan masyarakat.
"Di rumah kita dulu, begitu beliau diangkat jadi Kapolri, itu batu-bata, semen segala macam sudah datang untuk bikin pos jaga," ujar Didit.
"Beliau tidak mau, tidak ada pos jaga di rumah kita dulu, sama sekali tidak ada. Tiap orang boleh datang ke sana," sambung Didit.
Kisah Nani, Penjaga Makam Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso: Beliau Orangnya Baik
Nani Nisun penjaga makam di Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, berbagi cerita merawat makam mantan Kapolri Jenderal (Purn) Drs Hoegeng Imam Santoso.
Nani Nisum menjelaskan bahwa dirinya telah dipercaya Yayasan Wredatama dan bekerja di TPBU Giri Tama sejak puluhan tahun yang lalu.
"Kalau saya bekerja sebagai penjaga makam itu dari tahun 1978. Dari tanah ini masih kosong. Saya bekerja di sini sudah lebih dari 30 tahun," ujarnya saat berbincang dengan TribunnewsBogor.com, Selasa (30/6/2020).
Lebih lanjut, Nani Nisum menceritakan pengalamannya menjaga kebersihan makam Jenderal Hoegeng yang setiap harinya ramai didatangi para peziarah.
"Saya sangat senang dipercaya untuk menjaga kebersihan makam pak Hoegeng. Beliau orang baik, keluarganya juga sangat baik kepada semua orang. Termasuk kepada saya yang bertugas menjaga makam ini," jelasnya.
Tak hanya itu, ia pun mengaku beruntung lantaran sempat bertemu langsung dengan Jenderal Hoegeng ketika masih hidup dan datang ke TPBU Giri Tama.
"Yang saya kenal, ketika beliau datang ke sini, beliau itu orangnya sangat sederhana, merakyat. Ketika itu datang kesini berdua sama istrinya," paparnya.
"Baik sekali keluarganya. Bahkan saya pernah diajak ke rumahnya di Depok, Jawa Barat," tambahnya.
Nani mengatakan bahwa keluarga Hoegeng masih rutin untuk melakukan ziarah ke mantan Kapolri tersebut.
"Kalau untuk keluarga sih masih sering berziarah. Keluarga beliau sangat ramah dan baik sekali terhadap semua orang, mungkin karena kebaikan itu orang-orang banyak yang datang untuk mendoakannya," paparnya.
"Kalau keluarganya datang untuk berziarah setiap satu bulan sekali dan setiap tanggal 14," tambahnya.
Terkait kebersihan makam, Nani mengaku rutin membersihkan makam lantaran makam Hoegeng tidak pernah sepi dari peziarah.
"Saya setiap hari rutin untuk membersihkan makam ini. Soalnya setiap hari makam almarhum pak Hoegeng selalu ada yang beriziarah jadi kebersihannya harus terjaga," tandasnya.
Diketahui, Hoegeng Iman Santoso lahir di Pekalongan, Jawa Tengah 14 Oktober 1921 dan wafat di Jakarta 14 Juli 2004 di usianya yang ke-82.
Pesan 5 Makam
Jauh sebelum dirinya berpulang menghadap sang pencipta, Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso telah memesan pemakaman di Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor.
Penjaga makam TPBU Giri Tama, Nani Nisun mengatakan, ketika itu Jenderal Hoegeng dan istrinya sengaja datang ke Giri Tama yang berlokasi di Jalan PWRI Tonjong, Kemang, Kabupaten Bogor.
"Jadi beliau ketika masih hidup datang ke sini bersama ibu (istri). Beliau memesan dan membeli untuk lima makam di sini," ujar Nani Nisum dalam perbincangan khusus dengan TribunnewsBogor.com, Selasa (30/6/2020).
Nani menjelaskan bahwa lima makam yang dipesannya tersebut diperuntukkan kepada keluarganya.
"Jadi beliau datang dan membeli lima makam yang tadinya berupa tanah kosong ini untuk keluarganya. Untuk tahunnya sendiri saya kurang ingat," jelasnya.
Lebih lanjut, Nani Nisun menceritakan bahwa keluarga Jenderal Hoegeng merupakan keluarga yang baik, merakyat dan sangat sederhana.

Bahkan, Nani menceritakan bahwa dirinya sering diajak pihak keluarganya untuk sekedar silaturahmi ke rumah pribadi yang berlokasi di Depok, Jawa Barat.
"Yang saya kenal, ketika beliau datang kesini, beliau itu orangnya sangat sederhana, merakyat," ungkapnya.
"Ketika itu datang ke sini berdua sama istrinya. Baik sekali keluarganya. Bahkan saya pernah diajak ke rumahnya di wilayah Depok, Jawa Barat," tambahnya.
Suasana makam
Makam Hoegeng terdapat di pemakaman TPBU Giri Tama tepatnya di Jalan PWRI, Tonjong, Kemang, Kabupaten Bogor.
Adapun luas pemakaman TPBU Giri Tama luasnya mencapai 8 Ha dan dikelola oleh Yayasan Wredatama.
Yayasan Wredatama memiliki visi yakni memberikan ketenangan dan ketentraman bagi anggota Wredatama dalam rangka mempersiapkan, merencanakan dan menetapkan tempat peristirahatan terakhir.
Sedangkan misi dari Yayasan Wredatama yaitu menyediakan lahan, taman makam yang terpelihara, dengan fasilitas yang memadai dan berfokus bagi para Wredatama, Purnawirawan beserta keluarga dan kerabatnya.
Makam Kapolri ke-5 Republik Indonesia itu sangat terurus dan terjaga dalam hal kebersihannya.
Di area makam Jenderal Hoegeng terdapat pendopo lengkap dengan kursi dan atap yang dibuat dalam bentuk bangunan permanen sehingga peziarah dapat berteduh dari panasnya matahari dan berlindung ketika hujan turun.
"Sebenarnya makam pak Hoegeng tadinya biasa saja. Tapi ketika itu Kapolri Dai Bachtiar datang ke sini menggunakan Helikopter dan meminta agar makam almarhum pak Hoegeng untuk dibuatkan pendopo," ujarnya kepada TribunnewsBogor.
"Setiap orang yang datang untuk berziarah ke makam beliau, pasti orang-orang bercerita kalau beliau adalah orang yang paling jujur," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Mengenang Jenderal Hoegeng, Kapolri Jujur dan Teladan Bhayangkara.
TONTON JUGA:
Kapolri kelima RI, Jenderal (Purn) Polisi Hoegeng Iman Santoso tutup usia pada 14 Juli 2004. Hingga kini, Jenderal Hoegeng dikenal sebagai tokoh yang bersih dan antikorupsi. (Kompas.com)