Wawancara Eksklusif
Ironi Harga Gabah, Komisi II DPRD Lampung Siap Galakkan Program Petani Milenial
Polemik harga jual gabah petani di Provinsi Lampung yang berada di bawah ketetapan pemerintah menjadi sorotan publik.
Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Polemik harga jual gabah petani di Provinsi Lampung yang berada di bawah ketetapan pemerintah menjadi sorotan publik.
Meski pemerintah pusat telah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp 6.500 per kilogram, realita di lapangan justru berbeda.
Tonton Videonya di sini
Banyak petani mengeluhkan harga jual gabah yang hanya dibeli oleh tengkulak dan pengusaha dengan harga berkisar antara Rp 5.200 hingga Rp 6.000 per kilogram.
Kondisi ini diperparah dengan keluhan soal sistem pembayaran dari Bulog yang disebut dilakukan bertahap hingga dua sampai tiga kali, sehingga menyulitkan petani.
Untuk mengupas persoalan ini lebih dalam, Tribun Lampung berkesempatan menghadirkan anggota Komisi II DPRD Provinsi Lampung Fatikhatul Khoiriyah dalam wawancara eksklusif, Selasa (15/4/2025).
Apa penyebab harga gabah petani di Lampung jauh di bawah HPP?
Salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan kuota penyerapan gabah oleh Bulog, yang hanya diberi alokasi sekitar 20 persen dari total hasil panen di Lampung.
Hal ini menyebabkan gabah petani tidak tertampung maksimal, sehingga petani terpaksa menjual ke tengkulak dengan harga di bawah standar.
Selain itu, Pergub Lampung Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur larangan penjualan gabah keluar daerah tanpa pengolahan di Lampung juga menjadi kendala.
Regulasi ini membuat pasar gabah menjadi terbatas, sementara produksi petani terus meningkat.
Kami di DPRD akan mendorong Bulog menambah kuota pembelian gabah petani dan melakukan kajian ulang terhadap pergub tersebut agar lebih adaptif dengan kondisi di lapangan.
Bagaimana langkah pengawasan yang telah dilakukan oleh DPRD?
Kami di DPRD sudah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Dinas Pertanian, Bulog, serta Perpadi untuk mencari solusi atas persoalan ini.
Kami menegaskan agar tidak ada lagi praktik tengkulak yang membeli gabah di bawah harga yang ditetapkan pemerintah.
Pengawasan di lapangan akan kami intensifkan, termasuk mendorong Dinas Perdagangan dan Satgas Pangan untuk ikut mengawasi.
Apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membantu petani?
Pemerintah melalui dinas terkait telah menyalurkan bantuan alat pertanian, seperti alat pengering (dryer) dan mesin untuk memproses gabah, meski memang distribusinya belum merata.
Kami berharap dengan bantuan alat pertanian ini, kualitas gabah yang dihasilkan bisa lebih baik dan harga jualnya bisa bersaing.
Bagaimana cara meningkatkan hasil panen sekaligus memperbaiki posisi tawar petani?
Salah satu upaya yang harus terus digalakkan adalah mendorong program petani milenial.
Saya optimis, dengan semangat dan keterlibatan generasi muda, Lampung bisa menjadi pusat produksi pangan yang tangguh.
Apalagi dengan harga gabah yang seharusnya bisa stabil di Rp 6.500, ini menjadi peluang bagi anak muda untuk tertarik mengembangkan pertanian.
Solusi jangka pendek dan jangka panjang seperti apa yang Anda tawarkan agar petani tidak terus dirugikan?
Dalam jangka pendek, pemerintah harus memperkuat serapan gabah melalui Bulog dan mempermudah akses pembiayaan bagi petani, termasuk kemudahan modal usaha saat musim tanam dan panen.
Sedangkan dalam jangka panjang, saya mendorong penguatan koperasi tani yang bisa menjadi jembatan antara petani dengan pasar tanpa perantara tengkulak.
Selain itu, digitalisasi harga juga sangat penting, agar petani bisa memantau harga gabah secara real-time dan tidak mudah dimanfaatkan oleh tengkulak yang bermain harga.
Sebagai informasi, Lampung sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Sumatera mencatatkan luas lahan sawah mencapai 531.720 hektare dengan estimasi produksi gabah kering panen (GKP) tahun 2024 sebesar 2,79 juta ton.
Sayangnya, di balik angka produksi yang tinggi, nasib petani masih dirundung ironi.
Harga gabah di tingkat petani kerap jauh di bawah HPP, di mana saat ini petani mengaku hanya mendapatkan bayaran sekitar Rp 5.400 per kilogram jauh dari harapan.
(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)
Bincang dengan Ketum dan Sekum Kormi Lampung, Olahraga Jangan Dibatasi Usia |
![]() |
---|
Bincang dengan Kepala BPTD Kelas II Lampung Jonter Sitohang, Menuju Zero ODOL |
![]() |
---|
Pakar Hukum Unila Sebut Pemisahan Pemilu Rancu dan Membingungkan |
![]() |
---|
Hamartoni Ahadis Usung Program Puskesmas Mider di Lampung Utara |
![]() |
---|
Rektor Itera Sebut Panen Padi Bisa 3 Kali Setahun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.