Mahasiswa FEB Unila Meninggal

BEM Unila Adukan Kasus Kekerasan Tewaskan Mahasiswa FEB ke Gubernur Lampung

BEM Unila mengadukan kasus kekerasan yang menewaskan mahasiswa FEB ke Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal.

|
Penulis: Hurri Agusto | Editor: Reny Fitriani
Tribunlampung.co.id/Hurri Agusto
ADUKAN KE GUBERNUR LAMPUNG - Presiden BEM Unila Amar Fauzan (kiri) bersama Koordinator aksi aliansi mahasiswa FEB Menggugat, Zidan Alzakri seusai audiensi dengan Gubernur Lampung, Senin (2/6/2025). BEM Unila mengadukan kasus kekerasan yang menewaskan mahasiswa ke Gubernur Lampung. 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila) mengadukan kasus kekerasan yang menewaskan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) ke Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal.

Di mana, audiensi antara perwakilan BEM Unila dengan Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal berlangsung di ruang kerja Gubernur Lampung pada Senin (2/6/2025).

Presiden BEM Unila Amar Fauzan mengatakan, jika ada beberapa fokus utama dalam pembahasan mereka mulai evaluasi program 100 hari kerja Gubernur Lampung, beasiswa bagi putra-putri daerah yang berprestasi, serta pembahasan isu kekerasan yang menewaskan mahasiswa FEB Unila.

"Pertama, terkait evaluasi program 100 hari kerja Gubernur Lampung, yang diharapkan bisa segera dibahas dalam forum terbuka bersama mahasiswa," ujar Amar Fauzan, Senin (2/6/2025).

"Kedua, kolaborasi program beasiswa putra-putri daerah yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Provinsi Lampung," imbuhnya.

Selain itu, pihaknya juga mengadukan kasus kekerasan yang menewaskan seorang mahasiswa FEB bernama Prata Pratama.

"Ketiga, terkait kekerasan yang ada di tubuh universitas dalam hal Ini FEB, yang menewaskan almarhum saudara Pratama yang dilakukan oleh Ormawa Mahepel," ucapnya.

Terkait hal tersebut, Amar menyebut jika Gubernur Lampung akan memberikan perhatian serius dan sudah berkoordinasi dengan Anggota DPR RI dapi Lampung Ruby Chairani serta pihak Kepolisian Daerah untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

"Pak Gubernur sudah atensi ke ibu Ruby Chairani selaku DPR RI dapil Lampung, dan ke kepolisian untuk menindaklanjuti tindak kekerasan yang ada," imbuhnya.

Sementara, koordinator aksi aliansi mahasiswa FEB Menggugat, Zidan Alzakri berharap agar Gubernur Lampung mengawal kasus ini sampau benar-benar tuntas.

"Kami meminta pembekuan atau penghapusan organisasi mahasiswa Mahepel karena sudah terbukti menyebabkan kematian," ujar Zidan.

"Kami juga menuntut pertanggungjawaban dari pihak dekanat FEB atas izin kegiatan yang berujung tragedi ini," tukasnya.

Selain itu, mahasiswa juga mengecam adanya tindakan intimidasi terhadap para korban dan saksi, termasuk adanya pemaksaan agar membuat surat pernyataan tidak akan menuntut pihak tertentu.

Cerita Mahasiswa FEB Unila Disiksa Kakak Tingkat Saat Ikuti Diksar Mahepel

Cerita seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung ( Unila ), mengaku disiksa saat ikuti kegiatan pendidikan dasar (diksar) organisasi kemahasiswaan Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel).

Bahkan, akibat penyiksaan yang diduga dilakukan kakak tingkat itu membuat seorang mahasiswa bernama Pratama Wijaya Kusuma dari jurusan Bisnis Digital, tewas.

Diketahui, kegiatan diksar Mahepel FEB Unila itu berlangsung pada 11-14 November 2024.

Setelah mendapat perawatan, Pratama akhirnya meninggal dunia pada 28 April 2025.

Seorang mahasiswa FEB yang juga menjadi peserta diksar Mahepel, Muhammad Arnando Al Faaris, menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya selama mengikuti kegiatan diksar Mahepel tersebut.

Faaris yang juga rekan korban mengakui, telah terjadinya penyiksaan terhadap dirinya, serta sejumlah rekannya termasuk Pratama, yang meninggal dunia.

"Saya berusaha melaporkan kekerasan yang terjadi yang dilakukan oleh kakak tingkat di Mahepel."

"Saya sendiri mengalami dan saya mengharapkan ada keadilan, tapi malah saya mendapatkan tekanan," kata Muhammad Arnando Al Faaris saat diwawancarai di depan kantor KONI Lampung, Kamis (29/5/2025). 

Ia mengatakan, dirinya malah dicap oleh kakak tingkat dan kampus sebagai pembuat masalah.

"Saya meminta bantuan kepada mereka, tapi mereka tidak mau membantunya," ujar Faaris. 

Dia juga diperintahkan menandatangani suatu surat agar cerita ke siapapun dan kekerasan diksar tertulis hanya sebagai sukarela. 

"Saya tidak ikhlas dengan apa yang terjadi. Saya kecewa dengan sikap kampus, makanya saya keluar Unila," kata Faaris.

Faaris menceritakan awal mula ia mendapatkan penyiksaan tersebut. Berawal saat ia dan 5 rekannya tiba di Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran.

Pada 11 November 2024 itu, ia berkumpul pukul 10.00 WIB di Unila dengan membawa tas yang berat. 

Peserta diksar berjumlah 6 orang yakni dirinya, bersama Pratama Wijaya Kesuma (S1 Bisnis Digital), Sukril Kamal (S1 Ekonomi Pembangunan). 

Kemudian Audra Raja Pratama (S1 Ekonomi Pembangunan), Baginda Sae Winsang (S1 Manajemen), dan Julio Rangga Balista (S1 Manajemen).

"Kami dikumpulkan di Desa Talang Mulya, HP dan dompet dikumpulkan. Mulai kegiatan harus menyelesaikan dengan datang berenam dan pulang berenam," kata Faaris. 

Menurutnya. peserta diksar melakukan perjalanan sampai 15 jam lamanya dengan berjalan kaki mendaki, membawa tas, dan minim istirahat. 

Akibatnya peserta tidak kuat dan mulai muntah dan kaki lemah. 

"Tidak bisa pulang duluan atau istrahat panjang, istirahat hanya saja 5-30 menit. Jadi dalam perjalanan, teman saya kakinya sudah tidak kuat lagi karena membawa tas gunung yang berat. Bukannya beban dikurangi tapi malah kasih tongkat untuk berjalan," kata Faaris. 

Ia mengatakan, meskipun kaki gemetaran dan susah berdiri, mereka memaksakan diri sampai ke tujuan. 

"Kalau kami salah disuruh push up dengan 8 seri hukuman, 1 seri 25 kali push up dan itu kami harus melakukannya. Padahal 6 orang ini fisiknya berbeda-beda," imbuhnya. 

Faaris mengatakan, korban Pratama memiliki fisik yang lemah diantara peserta lainnya. 

Pada hari pertama saat melepas sepatu, kata Faaris, sudah terlihat kaki Pratama luka dan saat menurunkan tas gunung yang digendong, terlihat merah di bagian punggungnya. 

"Kami juga harus bangun tenda dengan kayu ranting, kalau tidak hafal yel-yel akan dihukum push up lagi," tambahnya. 

Menurutnya, panitia diksar selalu menyalahkan dirinya sebagai pemimpin karena tidak becus memimpin rombongan hingga ditampar semua peserta. 

Ia mengaku, pada suatu malam mereka dihukum seperti ditampar hingga 34 seri push up. 

"Panitia diksar bilang jangan berpura-pura lemah dan Pratama paling lemah yang paling banyak dapat penyiksaan," tutur Faaris. 

Malam-malam selanjutnya ia dan lima temannya mengalami kekerasan

"Saya tidak kuliah lagi di Unila dan sekarang berusaha cari kuliah lagi, kalau saya di sana tetap nilai dikendalikan dosen. Saya masuk Unila melalui jalur tes tertulis SBMPTN, saya sudah lepas dari Unila merasa bebas," tambahnya.

Ia mengatakan, dirinya berharap ke depan kejadian yang ia alami tidak terulang.

"Karena masalah ini pengkaderan menggantikan kekerasan fisik dan seharusnya tidak ada lagi. Tetapi alumni selalu ikut, diharapkan Mahepel dibekukan," pungkas Faaris.

(Tribunlampung.co.id/Hurri Agusto) 

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved