Wawancara Eksklusif

Pakar Hukum Unila Sebut Pemisahan Pemilu Rancu dan Membingungkan

Dalam putusan itu, MK memerintahkan agar Pileg dan Pilpres tetap diselenggarakan secara serentak. 

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
PEMISAHAN PEMILU - Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Prof Rudy (kiri) bicara soal pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah, Sabtu (5/7/2025). 

UUD menyebutkan bahwa pemerintahan daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Jika DPRD tidak ada, maka pemerintah daerah tidak dapat berjalan secara utuh. Maka, mau tidak mau, masa jabatan anggota DPRD harus diperpanjang.

Nantinya, bisa saja diatur dalam undang-undang seperti halnya masa transisi kepala daerah yang di-Plt-kan. Prinsip dasarnya adalah masa jabatan tidak boleh dipotong, dan itu harus dijamin secara konstitusional.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi Prof Yusril Ihza Mahendra juga menilai putusan MK ini berpotensi inkonstitusional. Namun, putusan MK final. Apa langkah selanjutnya?

Seharusnya MK tidak membuat aturan yang berubah-ubah. Putusan-putusan MK semestinya bersifat permanen dan tidak terus berganti.

Sebelumnya, mekanisme Pemilu dan Pilkada serentak sudah dibahas secara komprehensif, tapi kemudian diubah lagi. 

MK juga belum melakukan penelitian mendalam soal ini. Ini yang menjadi masalah. Ke depan, perlu ada kejelasan dan konsistensi dalam setiap putusan MK.

Pemilu memang menyedot biaya besar. Tahun 2024 saja, anggaran Pemilu nasional mencapai Rp 71,3 triliun dan Pilkada Rp 41 triliun. Apakah ini normal? Apakah mungkin menciptakan Pemilu berbiaya rendah (low cost election)?

Biaya Pemilu memang sangat variatif dan tergantung banyak faktor. Tapi sayangnya, tingginya biaya itu tidak sebanding dengan kualitas demokrasi yang dihasilkan. Ini harus jadi perhatian.

Misalnya di Lampung, kita melihat adanya PSU (Pemungutan Suara Ulang) di Pesawaran. Itu terjadi karena proses dan kinerja penyelenggara tidak berjalan optimal. Padahal sudah ada KPU dan Bawaslu.

Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa biaya besar belum tentu menghasilkan kualitas demokrasi yang baik.

Justru ini menjadi tantangan serius. Kita harus meninjau ulang regulasi dan memperbaiki sistem dari hulu ke hilir, agar tidak selalu bermasalah dan mahal.

Jika melihat biaya dan hasil, apakah pemisahan Pemilu bisa meningkatkan kualitas demokrasi?

Kita sudah mengalami berbagai macam format Pemilu dan Pilkada. Namun, hasilnya belum benar-benar menunjukkan kemajuan demokrasi yang signifikan. Pemisahan bukan jaminan kualitas meningkat.

Saya berharap MK membuat putusan yang permanen, tidak mudah berubah karena tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.

Perubahan yang terlalu sering justru menjadi ancaman demokrasi. Banyaknya PSU juga menunjukkan lemahnya regulasi dan sistem penyelenggaraan.

Seharusnya kita fokus pada pencegahan, bukan sekadar penanganan. Demokrasi Indonesia harus makin matang dan berintegritas dari waktu ke waktu. 

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Sumber: Tribun Lampung
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved