Wawancara Eksklusif

Pakar Hukum Unila Sebut Pemisahan Pemilu Rancu dan Membingungkan

Dalam putusan itu, MK memerintahkan agar Pileg dan Pilpres tetap diselenggarakan secara serentak. 

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
PEMISAHAN PEMILU - Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Prof Rudy (kiri) bicara soal pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah, Sabtu (5/7/2025). 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029 mendatang. 

Hal itu tercantum dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada akhir Juni 2025 lalu.

Dalam putusan itu, MK memerintahkan agar Pileg dan Pilpres tetap diselenggarakan secara serentak. 

Namun, untuk pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota serta anggota DPRD, akan digelar dua tahun setelahnya, atau secara terpisah.

Keputusan itu menuai pro dan kontra. Sejumlah pihak menyampaikan keberatan atas putusan ini. 

Mereka menilai keputusan MK tersebut bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945. 

Pasal tersebut menyatakan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD dalam satu kesatuan waktu. 

Selain itu, muncul pula pertanyaan mengenai nasib masa jabatan anggota DPRD yang akan habis sebelum Pemilu legislatif daerah dilangsungkan. 

Lantas, bagaimana dampak dari keputusan ini? Bagaimana pula seharusnya sikap para pembentuk undang-undang, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, simak wawancara eksklusif Tribun Lampung bersama pakar yang juga dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung Prof Rudy, Sabtu (5/7/2025) lalu.

Bagaimana Prof menilai putusan MK terkait pemisahan Pemilu ini?

Kalau kita lihat ke belakang, perjalanan Pemilu dan Pilkada di Indonesia memang selalu mengalami perubahan.

Kita pernah melalui masa Pilkada semi-tertutup, lalu menjadi terbuka, kemudian ada pemisahan antara Pemilu dan Pilkada.

Setelah itu, diberlakukan Pilkada serentak, dan sekarang muncul putusan MK yang kembali memisahkan Pemilu legislatif nasional dengan Pemilu daerah.

Saya melihat MK cenderung suka bereksperimen. Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini, MK memutuskan bahwa Pemilu Presiden, DPR, dan DPD akan dilakukan serentak, sedangkan pemilihan kepala daerah dan DPRD dilangsungkan dua tahun kemudian.

Padahal, Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.

Pemisahan waktu ini menimbulkan tafsir konstitusional yang rancu. 

Saya menilai, MK saat ini tidak hanya pasif, tapi juga sering melakukan eksperimen yang berubah-ubah, seperti yang terlihat dalam putusan soal batas usia calon wakil presiden, ambang batas pencalonan, hingga masa jabatan kepala daerah. 

Sejak munculnya putusan yang meloloskan Gibran (Rakabuming Raka), saya melihat MK seperti sedang melakukan bersih-bersih citra, namun cenderung mengeluarkan putusan yang terkesan berpihak kepada pihak-pihak tertentu.

Alasan pemisahan ini disebut untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan meringankan beban penyelenggara. Bagaimana pendapat Anda?

Terkait alasan beban penyelenggara, MK sebenarnya sudah pernah mempertimbangkan hal itu dalam putusan sebelumnya saat menetapkan Pilkada serentak.

Tapi dalam putusan terbaru ini, kita belum bisa memastikan efektivitasnya karena belum dijalankan. Kita harus menunggu pelaksanaannya dulu.

Beberapa pihak menilai putusan ini inkonstitusional. Bagaimana pandangan Anda?

Ya, ini kembali kepada ketidakkonsistenan MK. Putusan ini menunjukkan bahwa MK kerap melakukan eksperimen dalam bentuk putusan baru. Sejak putusan soal Gibran, MK terkesan mencoba membenahi citra diri.

Padahal, MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi. Maka, meskipun ada perdebatan, putusan MK tetap final dan mengikat, dan harus dijalankan.

Putusan ini dianggap bertentangan dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyatakan Pemilu harus serentak. Tapi MK berdalih telah mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 dan 2024. Bagaimana tanggapan Anda?

Ini memang membingungkan. Ketika putusan sebelumnya menyatakan Pemilu harus serentak, lalu tiba-tiba dipisahkan, tentu menimbulkan ketidakpastian hukum.

MK seharusnya konsisten dan membuat aturan yang stabil agar tidak membingungkan penyelenggara dan masyarakat. Evaluasi tidak bisa dijadikan alasan tunggal untuk mengubah konstitusi yang bersifat permanen.

Lalu bagaimana nasib masa jabatan DPRD jika Pemilu daerah dilaksanakan dua tahun setelah Pemilu nasional?

Secara logika konstitusional, masa jabatan DPRD harus diperpanjang. Karena dalam sistem pemerintahan daerah, eksekutif dan legislatif adalah satu kesatuan.

UUD menyebutkan bahwa pemerintahan daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Jika DPRD tidak ada, maka pemerintah daerah tidak dapat berjalan secara utuh. Maka, mau tidak mau, masa jabatan anggota DPRD harus diperpanjang.

Nantinya, bisa saja diatur dalam undang-undang seperti halnya masa transisi kepala daerah yang di-Plt-kan. Prinsip dasarnya adalah masa jabatan tidak boleh dipotong, dan itu harus dijamin secara konstitusional.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi Prof Yusril Ihza Mahendra juga menilai putusan MK ini berpotensi inkonstitusional. Namun, putusan MK final. Apa langkah selanjutnya?

Seharusnya MK tidak membuat aturan yang berubah-ubah. Putusan-putusan MK semestinya bersifat permanen dan tidak terus berganti.

Sebelumnya, mekanisme Pemilu dan Pilkada serentak sudah dibahas secara komprehensif, tapi kemudian diubah lagi. 

MK juga belum melakukan penelitian mendalam soal ini. Ini yang menjadi masalah. Ke depan, perlu ada kejelasan dan konsistensi dalam setiap putusan MK.

Pemilu memang menyedot biaya besar. Tahun 2024 saja, anggaran Pemilu nasional mencapai Rp 71,3 triliun dan Pilkada Rp 41 triliun. Apakah ini normal? Apakah mungkin menciptakan Pemilu berbiaya rendah (low cost election)?

Biaya Pemilu memang sangat variatif dan tergantung banyak faktor. Tapi sayangnya, tingginya biaya itu tidak sebanding dengan kualitas demokrasi yang dihasilkan. Ini harus jadi perhatian.

Misalnya di Lampung, kita melihat adanya PSU (Pemungutan Suara Ulang) di Pesawaran. Itu terjadi karena proses dan kinerja penyelenggara tidak berjalan optimal. Padahal sudah ada KPU dan Bawaslu.

Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa biaya besar belum tentu menghasilkan kualitas demokrasi yang baik.

Justru ini menjadi tantangan serius. Kita harus meninjau ulang regulasi dan memperbaiki sistem dari hulu ke hilir, agar tidak selalu bermasalah dan mahal.

Jika melihat biaya dan hasil, apakah pemisahan Pemilu bisa meningkatkan kualitas demokrasi?

Kita sudah mengalami berbagai macam format Pemilu dan Pilkada. Namun, hasilnya belum benar-benar menunjukkan kemajuan demokrasi yang signifikan. Pemisahan bukan jaminan kualitas meningkat.

Saya berharap MK membuat putusan yang permanen, tidak mudah berubah karena tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.

Perubahan yang terlalu sering justru menjadi ancaman demokrasi. Banyaknya PSU juga menunjukkan lemahnya regulasi dan sistem penyelenggaraan.

Seharusnya kita fokus pada pencegahan, bukan sekadar penanganan. Demokrasi Indonesia harus makin matang dan berintegritas dari waktu ke waktu. 

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved