Berita Lampung

Langkah Kecil Petugas JKN di Lorong Panjang Pelayanan Klinik hingga Rumah Sakit

Koordinator EP3RS, tim khusus yang dibentuk untuk memastikan layanan Jaminan Kesehatan Nasional berjalan optimal di berbagai fasilitas kesehatan. 

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Noval Andriansyah
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
Heni Yuliana Sari, Koordinator EP3RS saat melayani pasien BPJS di Di sebuah klinik kecil di Adiluwih, Pringsewu,, Lampung. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Bandar Lampung - Matahari mulai merendah di ufuk barat, sinarnya yang semula terik kini melembut, menyisakan semburat kuning keemasan yang menari di antara ranting pepohonan. Udara perlahan berubah sejuk, menandakan hari mulai sore. 

Di sebuah klinik kecil di Adiluwih, Pringsewu,  Lampung, suasana masih cukup ramai. 

Pasien datang silih berganti, berharap mendapatkan pertolongan sebelum malam benar-benar larut.

Di salah satu sudut ruang perawatan, Tio bukan nama sebenarnya terbaring lemah. 

Di sampingnya, sang istri tampak panik, menggenggam erat kartu BPJS Kesehatan. 

Dengan tergesa ia menuju loket pendaftaran, berharap proses bisa berjalan cepat agar suaminya segera ditangani.

Namun, seperti banyak warga lainnya, administrasi layanan BPJS kerap menjadi tantangan tersendiri. 

Sang istri kebingungan mengisi data, belum memahami prosedur pendaftaran melalui aplikasi. 

Saat itulah, seorang perempuan berhijab dengan rompi hijau pastel menghampiri. 

Tatapannya tenang, tutur katanya lembut, dan senyum kecil tak pernah lepas dari wajahnya. 

Ia bukan petugas medis, melainkan pendamping yang dikirim khusus oleh BPJS Kesehatan.

Namanya Heni Yuliana Sari. Ia adalah Koordinator EP3RS, tim khusus yang dibentuk untuk memastikan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan optimal di berbagai fasilitas kesehatan. 

Tugas Heni tidak menetap di satu tempat. Ia berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dari puskesmas ke puskesmas, menyusuri lorong-lorong pelayanan, menyapa pasien, mendengar keluhan, dan mengedukasi masyarakat agar paham bagaimana mengakses layanan JKN, terutama melalui aplikasi digital Mobile JKN.

Tak jarang Heni menjadi tempat curhat, pelampiasan marah, bahkan benteng terakhir di tengah kebingungan pasien. 

Tapi ia memahami bahwa semua itu bukan karena ketidaksukaan. Itu karena ketidakpahaman, karena takut, dan karena merasa asing dengan sistem yang baru. 

“Kadang-kadang kami dimarahi, dianggap menyulitkan,” katanya sambil tersenyum saat bercerita dengan Tribun Lampung Senin (28/5/2025). 

“Tapi saya paham, mereka sedang takut dan bingung. Kami hadir bukan untuk menyalahkan, tapi untuk membantu," sambungnya.

Suatu hari di Puskesmas Pesawaran, Heni mendampingi seorang bapak lanjut usia yang hendak kontrol. 

Namun ia tidak memiliki ponsel pintar. Dengan sabar, Heni menjelaskan bahwa antrean bisa didaftarkan lewat ponsel anak atau tetangga. 

Pria itu mengangguk, masih tampak bingung, tapi akhirnya mengerti.

Di lain waktu, menceritakan lansia lain yang hanya bisa mengakses layanan kesehatan jika anaknya sempat membantu. Jika tidak, kontrolnya tertunda. 

Di balik semua kisah itu, Heni hadir. Ia menenangkan yang panik, membimbing yang belum paham, bahkan mencarikan solusi bagi yang tak memiliki akses.

 Ia tahu, teknologi memang diciptakan untuk memudahkan, tapi manusia tidak bisa berubah secepat sistem berkembang.

“Kalau pasien tidak punya HP, kami bantu daftarkan. Kadang kami verifikasi manual. Yang penting mereka tetap bisa berobat,” ujarnya.

 Ia mengenang seorang ibu yang kini tak perlu lagi berangkat subuh ke rumah sakit. Cukup ambil antrean online dari rumah, lalu datang sesuai jadwal. Tapi untuk sampai di titik itu, edukasi harus dilakukan pelan-pelan. 

Ia harus menembus tembok kebingungan, keraguan, bahkan kemarahan. Pernah ia dimaki, disalahkan, tapi tak pernah dibalas dengan emosi. Ia ulangi penjelasan, lagi dan lagi, hingga akhirnya pasien mengerti.

 “Awalnya marah, tapi setelah dijelaskan mereka bisa menerima. Itu bagian dari perjuangan,” katanya pelan.

Heni adalah satu dari sekian banyak wajah yang bekerja dalam diam di balik layanan JKN. Ia tahu betul, melayani bukan sekadar menyampaikan informasi, tapi memastikan informasi itu benar-benar dipahami. 

Bukan hanya menjawab, tapi hadir dan menemani hingga tuntas. Dalam sistem besar yang sering kali terlihat kaku dan administratif, ia menjadi pengingat bahwa yang dilayani adalah manusia, bukan data.

Sementara itu, Kepala Cabang BPJS Kesehatan Bandar Lampung, Yessy Rahimi, mengatakan bahwa sejak diluncurkan pada 1 Januari 2014, Program JKN telah menjadi penopang utama layanan kesehatan di Indonesia. 

Terutama bagi mereka yang berhadapan dengan penyakit berat dan biaya besar. 

“Dulu, banyak pasien menunda berobat karena tak punya biaya. Tapi sekarang, berkat JKN, mereka bisa langsung ke fasilitas kesehatan tanpa khawatir soal ongkos,” ujar Yessy.

Di awal penerapan, sistem JKN memang belum sempurna. Banyak rumah sakit belum siap, antrean mengular, klaim menumpuk, bahkan terjadi miskomunikasi antara pasien dan petugas medis. Namun BPJS Kesehatan terus berbenah.

Transformasi digital menjadi titik balik penting. 

Melalui aplikasi Mobile JKN, masyarakat bisa mengambil antrean secara online, memilih waktu layanan, dan mengakses informasi kesehatan dengan lebih mudah.

“Peran kami bukan menggantikan tenaga medis,” jelas Yessy. 

“Tapi memastikan sistem ini berjalan dan hak pasien terpenuhi.” 

Ia menambahkan bahwa layanan JKN tidak hanya untuk penyakit ringan, tapi justru paling besar digunakan untuk penyakit katastropik seperti gagal ginjal, jantung, kanker, dan stroke. 

“Pasien cuci darah misalnya, biayanya bisa puluhan juta per bulan. Tanpa JKN, mereka mungkin sudah menyerah,” ujarnya.

Saat pandemi COVID-19 melanda, sistem ini benar-benar diuji. Rumah sakit penuh, tenaga kesehatan kewalahan, dan ekonomi masyarakat terpukul.

 BPJS Kesehatan tetap hadir, memperkuat layanan daring, memperlonggar aturan iuran, dan menjaga komunikasi dengan rumah sakit agar layanan tetap berjalan.

 “Justru saat itu, kita melihat betapa pentingnya JKN. Banyak pasien COVID dirawat tanpa harus memikirkan biaya,” katanya.

Yessy tak menutup mata bahwa tantangan masih ada. Ketimpangan layanan antara kota dan desa, minimnya sosialisasi, dan kerumitan rujukan masih menjadi pekerjaan rumah. 

Tapi satu hal yang terus dijaga adalah komitmen untuk tetap melayani dengan hati. 

Setiap pengaduan ditindaklanjuti. Setiap rumah sakit mitra dievaluasi. Setiap langkah perbaikan terus dilakukan.

“JKN bukan sistem yang sempurna,” katanya. “Tapi dari waktu ke waktu, kami ingin membuatnya lebih manusiawi. Agar siapa pun yang sakit, bisa sembuh tanpa takut soal biaya.”

Karena pada akhirnya, di balik sistem yang terlihat teknis, tersimpan jutaan kisah harapan.

Tentang pasien yang bisa pulang dari rumah sakit karena biayanya ditanggung. 

Tentang anak-anak yang bisa kembali sekolah setelah sembuh. Tentang keluarga yang tetap utuh karena satu nyawa berhasil diselamatkan. 

Dan semua itu bermula dari satu niat: melayani dengan hati, mengabdi untuk negeri.

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved