Peran Adik Jusuf Kalla di Kasus Korupsi PLTU Rp 1,2 Triliun, Kini Resmi Tersangka

Terungkap peran Halim Kalla (HK), adik kandung Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat.

Tribunnews/Reynas Abdilla
TETAPKAN 4 TERSANGKA - Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo menetapkan empat orang tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat 2x50 megawatt, Kabupaten Mengkawah, Kalimantan Barat, tahun 2008-2018. Keterangan disampaikan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025). Satu di antara tersangka yakni Halim Kalla (HK), adik kandung Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Jakarta - Terungkap peran Halim Kalla (HK), adik kandung Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat tahun 2008-2018.

Proyek PLTU 1 Kalimantan Barat itu disebut senilai Rp1,2 triliun, dan mangkrak sejak 2016.

Berdasarkan penyelidikan dan penyidikan, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri akhirnya menetapkan 4 tersangka. Satu di antaranya yakni Halim Kalla (HK), adik kandung Jusuf Kalla.

Tak sendiri, pengusaha asal Makassar itu menjadi tersangka bersama Fahmi Mochtar (FM) Dirut PLN 2008-2009, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba.

Pembangunan PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 megawatt, yang berada di Kabupaten Mengkawah, Kalimantan Barat, dimulai pada 2008. Adapun pendanaan dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA). Namun, proyek ini gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski telah diaddendum sebanyak 10 kali hingga 2018.

Dikutip Tribunlampung.co.id dari Tribunnews.com, Dirtindak Kortas Tipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto mengungkapkan peran Halim Kalla dalam perkara ini.

"FM selaku dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan satu di antara calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat," katanya kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).

Brigjen Totok menjelaskan, roses penyelidikan kasus telah dilakukan sejak 2024. Sebanyak 65 saksi dan 5 ahli sudah diperiksa penyidik untuk membuat kasusnya terang benderang.

Polisi juga menerima laporan hasil pemeriksaan investigatif perhitungan keurigaan negara dari BPK, yang mana kerugian negara berupa total loss senilai USD 62,410,523.20 dan Rp. 323.199.898.518.

Hasil penyelidikan ditemukan fakta tahun 2008 PT PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap PLTU 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2x50 MW.

Proyek tersebut dibangun di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat

"Selanjutnya, dalam pelaksanaan lelang diketahui Panitia Pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN, tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN – Alton – OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi," tuturnya.

Diduga kuat perusahaan Alton – OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN.

Pada tahun 2009 sebelum dilaksanakan pandatangan kontrak, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan ke PT Praba Indopersada dengan Dirutnya tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee ke PT BRN. 

Kemudian, HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN. 

"Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan pandatangan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.848.341 USD dan 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp1,254 triliun," paparnya.

Dia menjabarkan, tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012. 

Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan, lalu telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018.

"Fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta USD," pungkasnya.

Adapun kasus ini merupakan take over dari Polda Kalbar yang telah melakukan penyelidikan sejak tahun 2021 lalu.

Kemudian, kasus korupsi tersebut dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.

Penyalahgunaan Wewenang

Sementara itu, Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo, dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025), menyebut, ada penyalahgunaan wewenang dalam kasus tersebut.

“Proyek PLTU diduga melawan hukum penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” ujar Cahyono.

Konsorsium KSO BRN ditunjuk sebagai pemenang lelang berdasarkan Surat Persetujuan Direksi PLN Nomor 178 Tahun 2008.

Namun, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa KSO BRN tidak memenuhi sejumlah persyaratan penting.

Di antaranya, tidak memiliki pengalaman membangun PLTU minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan tahun 2007 (audited), laba bersih konsorsium tahun 2006 tidak mencapai batas minimum Rp7,5 miliar, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA atau surat pernyataan penanggung jawab.

Peserta tambahan dalam konsorsium, OJSC POWER MACHINES yang memiliki pengalaman PLTU, baru dimasukkan kemudian.

Kontrak pekerjaan ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR selaku Dirut PT BRN dan FM selaku Dirut PLN, dengan nilai USD 80 juta dan Rp507 miliar.

Namun, pada akhir 2009, seluruh pekerjaan dialihkan ke PT PI dan perusahaan energi asal Tiongkok, QJPSE.

“Laporan hasil pemeriksaan investigatif oleh Auditorat Utama Investigasi BPK RI terdapat indikasi kerugian keuangan negara sebesar kurang lebih USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar,” pungkas Cahyono.

Penyidik menduga terdapat aliran dana dari KSO BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak sebagai bentuk suap dalam pelaksanaan proyek.

Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalbar sejak 2021, sebelum dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.

Berita selanjutnya Dilarang Luhut Agar Tak Ganggu Anggaran MBG, Menkeu Purbaya: Kita Lihat Akhir Oktober

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved