Liputan Khusus Tribun Lampung

Upah Guru Honor di Bawah UMP, Sukri Jual Keripik Singkong Tiap Akhir Pekan

Dibanding angka itu, ternyata, upah guru honor di bawah UMP. Kisah-kisah miris para guru honor pun bermunculan di Lampung.

Penulis: Romi Rinando | Editor: Ridwan Hardiansyah
Istimewa
Mulyadi (48) saat melalui jalan berlumpur sebelum mengajar di SDN 2 Air Kubang, Ulu Belu, Tanggamus, yang berada di daerah terpencil, beberapa waktu lalu. Jalan tersebut telah ia lalui selama 27 tahun selama mengajar di SDN 2 Air Kubang. 

Penghasilan tambahan tersebut, menurut Sukri, tidaklah banyak.

Baca: Warga Bandar Lampung Gali Sumur Bor hingga 70 Meter

Baca: Kecepatan Jaringan 3G Masih Kalahkan 4G di Bandar Lampung, Ini Buktinya

Walau demikian, Sukri mengaku tetap bersyukur karena mampu mengurangi beban hidupnya.

"Alhamdulillah, walaupun tidak banyak, bisa nutup uang operasional sehari-hari," ujar Sukri.

Tak Tahu Jumlah Gaji

Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Lampung Aswarodi mengatakan, pihaknya belum memiliki kebijakan untuk meningkatkan honor bagi guru non-PNS atau guru honor.

"Jadi, yang mengangkat guru honor itu bukan pemerintah, tetapi sekolah," ujar Aswarodi, Jumat (24/11/2017).

Penggajian untuk guru honor, Aswarodi menuturkan, berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima masing-masing sekolah.

Karena itu, besaran gaji buat guru honor ditentukan pihak sekolah.

"Kepala sekolah yang lebih tahu bagaimana teknis penggajian guru honor melalui dana BOS. Saya juga hanya tahu sepintas bahwa gaji untuk guru honor dari dana BOS," kata Aswarodi.

Pemprov, kata Aswarodi, hanya bisa menambah pendapatan guru honor melalui insentif, khususnya guru yang mengabdi di SMA dan SMK, yang menjadi kewenangan pemprov.

Sementara, guru honor di SD dan SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

Besaran insentif untuk guru honor SMA dan SMK, lanjut Aswarodi, sebesar Rp 200 ribu per bulan, yang dibayarkan per semester.

"Pemberian insentif baru dimulai tahun 2017 ini. Karena, pengalihan kewenangan SMA dan SMK ke pemprov baru berlaku mulai Januari 2017," tutur Aswarodi.

Terpisah, Sekretaris Disdikbud Bandar Lampung, Tatang Setiadi mengatakan, pemkot telah mengalokasikan anggaran untuk insentif guru honor SD dan SMP dalam APBD.

Setiap guru honor akan menerima insentif Rp 150 ribu-Rp 200 ribu per bulan. "Yang dibayar per enam bulan," tutur Tatang.

Serupa Aswarodi, Tatang juga mengaku tidak mengetahui secara detail terkait sistem maupun besaran gaji yang diterima para guru honor.

Ia hanya mengatakan, pemberian gaji guru honor sudah diatur dalam petunjuk teknis penggunaan dana BOS, dan Permendikbud Nomor 7 Tahun 2017 tentang Kompetensi Teknis Jabatan di Lingkungan Disdikbud Provinsi dan Kabupaten/Kota.

"Saya tidak tahu detail, tetapi untuk gaji guru honor itu diperbolehkan dari dana BOS," terang Tatang.

Tidak Terima Insentif

Selama menjadi guru honor, Sukri mengungkapkan, ia hanya pernah menerima insentif pada 2010.

Saat itu, besaran insentif Rp 100 ribu per bulan, yang dibayar setiap enam bulan.

"Setelah itu, sampai sekarang, tidak pernah dapat insentif lagi," ujar Sukri.

Serupa Sukri, seorang guru honor di sebuah SMP di Bandar Lampung, Mel (29, bukan nama sebenarnya) mengaku belum pernah menerima insentif.

Ia hanya menerima gaji sebesar Rp 750 ribu yang dibayarkan per bulan.

"Tidak ada, saya cuma terima itu (Rp 750 ribu) saja," tutur Mel.

Sementara, Her mengatakan, ia menerima insentif sebesar Rp 200 ribu per bulan, yang dibayarkan per semester.

Insentif yang diterima, menurut Her, sangat membantunya untuk memenuhi kebutuhan.

"Ya, masih cukuplah untuk bantu-bantu kebutuhan rumah," kata Her.

Jauh dari Standar

Ketua Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Lampung, Asep Sudarsono mengatakan, gaji guru honor ditambah dengan insentif yang diterima, masih jauh dari standar.

Salah satu indikatornya adalah angka UMP Lampung sebesar Rp 1,9 juta pada 2017, yang kemudian ditetapkan sebesar Rp 2,07 juta untuk 2018.

"Coba dihitung. Anggap saja gaji guru honor Rp 400 ribu per bulan. Kemudian, insentif Rp 200 ribu per bulan. Total Rp 600 ribu per bulan. Setengah UMP saja tidak sampai," tegas Asep.

Padahal, Asep menerangkan, guru honor memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan guru PNS.

"Yaitu, mencerdaskan dan membentuk karakter anak bangsa," sambung Asep.

Baca: Cari Menu Western, Sosialita Lampung Pilih Sarapan di Hotel Bintang

Baca: Pasien Cuci Darah Melonjak 16 Ribu Kasus di Lampung

Dengan kondisi tersebut, Asep menuturkan, pemerintah sudah seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan guru honor.

"Mengangkat guru honor yang kompeten menjadi PNS, itu masih lebih baik daripada merekrut guru PNS baru," ujar Asep.

Berharap Jadi PNS

Meski upah guru honor di bawah UMP, Mel memutuskan bertahan sebagai guru honorer guna membantu suaminya memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Sebab, penghasilan suaminya sebagai wiraswasta tidak bisa selalu diandalkan.

"Harapannya sih bisa cepat diangkat jadi PNS. Karena, itu juga bertahan," tutur Mel.

Hal senada dilontarkan Sukri. Ia tetap bertahan menjadi guru honor, walaupun upah guru honor di bawah UMP.

Hal itu karena ia masih memiliki harapan untuk diangkat menjadi PNS.

Meskipun, Sukri tak tahu kapan harapannya akan terwujud.

"Saya yakin harapan itu ada, makanya saya bertahan. Walaupun, saya tidak tahu kapan saya diangkat jadi PNS," papar Sukri.

Ia juga berharap, ketika ada pengangkatan guru honorer menjadi PNS, pemerintah bisa bertindak adil dan transparan.

Hal itu lantaran, menurut Sukri, kerap terjadi ketidakadilan dalam pengangkatan guru honor menjadi PNS.

"Faktanya selama ini, baru jadi guru honor langsung diangkat PNS. Sementara yang sudah lama menjadi guru honor, tidak diprioritaskan. Kami meminta pemerintah adil dan transparan," jelas Sukri.

Adapun, Her mengungkapkan, ia menjadi guru honorer karena saat mendaftar sebagai guru, tidak ada perekrutan CPNS.

Karena itu, ia tetap mengajar meskipun berstatus sebagai guru honorer.

"Sekarang, saya bertahan saja. Harapannya tentu bisa cepat diangkat jadi PNS. Mudah-mudahan saja," tutur Her.

Tatang menjelaskan, di Kota Tapis Berseri saat ini, jumlah guru honorer di sekolah negeri dan swasta sekitar 7.000 orang.

Sementara, jumlah guru PNS hanya 1.500 orang.

Hal itu terjadi lantaran adanya moratorium atau penghentian sementara perekrutan CPNS.

"Untuk mengubah status guru honor menjadi PNS, maupun menambah guru PNS, semuanya tergantung kebijakan pemerintah pusat," ujar Tatang.

Sedangkan, Aswarodi menjelaskan, sampai saat ini, rencana pengangkatan guru honor menjadi PNS, belum pernah disampaikan pemerintah pusat ke daerah.

Karena itu, pemprov pun tidak dapat mengangkat guru honor menjadi PNS.

"Kebijakan ada di pemerintah pusat, bukan di daerah. Kami mengikuti pemerintah pusat. Kalau memang ada pengangkatan, daerah pasti mengusulkan," ucap Aswarodi.

Tiap Hari Lintasi Jalan Lumpur 2 Km

Kecintaan terhadap dunia pendidikan membuat Mulyadi (48) rela menempuh 15 kilometer (km) setiap hari, dari rumahnya di Pekon Tanjung Begelung, Tanggamus menuju sekolah tempatnya mengajar.

Selama 27 tahun, Mulyadi pun harus berjibaku melintasi jalan berlumpur sebelum mengajar di SDN 2 Air Kubang, Ulu Belu, Tanggamus, yang berada di daerah terpencil.

Meski berkali-kali motornya rusak saat menuju sekolah, Mulyadi tetap tak menyerah.

"Jalan berlumpurnya sekitar dua km. Kalau motor rusak saat di jalan jelek itu, ya sudah ditinggal saja. Saya lalu jalan kaki sampai sekolah. Baju, sepatu, tas berlumpur itu sudah sehari-hari. Pokoknya tiada hari tanpa mandi lumpur," terang Mulyadi, Minggu (26/11/2017).

Kerusakan yang terjadi, menurut Mulyadi, biasanya berupa rantai putus.

Bahkan karena medan yang berat, satu unit motor milik Mulyadi sampai rusat parah hingga tak bisa lagi digunakan.

"Saya sudah satu kali ganti motor. Motor yang lama sudah rusak parah. Sebab, yang saya lewati itu bukan lagi jalan, tapi sawah," kata Mulyadi.

Kondisi jalanan tersebut, Mulyadi menuturkan, akan lebih parah saat musim hujan.

Sementara saat kemarau, ia harus menghirup debu yang terkadang membuat matanya memerah.

Baca: Ingin Pipi Tirus, Para Wanita di Lampung Rogoh Kocek Jutaan Lakukan Tanam Benang

Baca: Sosialita Lampung Pilih Beli Tas Mewah di Singapura

"Kalau musim hujan, ban motor yang pasti harus dipasang rantai, agar bisa lewat jalanan licin dan berlumpur. Belum lagi melewati kubangan-kubangan. Jadi, pagi-pagi saya sudah harus `sarapan' angkat motor kalau terperosok kubangan," papar bapak empat anak tersebut.

Karena jarak sekolah dan rumahnya yang jauh, Mulyadi sudah berangkat setelah salat Subuh.

Turut serta, anaknya yang bersekolah di tempat Mulyadi mengajar.

"Kami berharap Pemkab Tanggamus ikut prihatin dengan kondisi jalan menuju SDN 2 Air Kubang, Ulu Belu," harap alumni PGSD Universitas Terbuka itu.

Dibayar Rp 30 Ribu

Karier Mulyadi di SDN 2 Air Kubang berawal sebagai guru honor pada 17 September 1990.

Saat itu, ia hanya menerima honor sebesar Rp 30 ribu per bulan, yang diberikan oleh kepala sekolah dan guru agama.

Meski upah guru honor jauh di bawah UMP, Mulyadi memilih bertahan.

Alasannya bertahan karena merasa bahagia bisa menyalurkan pendidikan kepada anak-anak.

Pada 2003, status Mulyadi berubah menjadi guru bantu.

Ia mendapat honor Rp 490 ribu per bulan.

Tiga tahun berselang, pada 2006, Mulyadi ditetapkan sebagai guru kontrak.

Ia mendapat bayaran Rp 710 ribu per bulan.

Hingga akhirnya pada 2007, Mulyadi diangkat sebagai PNS.

Saat ini, ia menerima gaji sekitar Rp 3 juta.

10 Tahun Mengajar Dibayar Rp 450 Ribu

Nasib miris ternyata tak hanya dialami guru honorer di sekolah negeri.

Guru honorer atau guru tidak tetap di sekolah swasta di Bumi Ruwa Jurai harus merasakan upah guru honor di bawah UMP.

Siti Khufaidah sudah 10 tahun mengabdi sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta di Dente Teladas, Tulangbawang.

Di dalam pengabdiannya itu, honor yang diterima Siti bisa dibilang masih jauh dari kata layak.

Dengan beban mengajar yang melebihi batas ketentuan 24 jam per minggu, Siti saat ini hanya mendapat honor Rp 450 ribu per bulan.

"Saya sudah mengabdi lebih dari 10 tahun, dan mengajar lebih dari 24 jam selama satu minggu. Tapi, jangankan untuk sejahtera, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari pun tidak mencukupi," tutur Siti, Senin (27/11/2017).

Seperti halnya Siti, kondisi tak kalah memprihatinkan dialami Del (40, bukan nama sebenarnya), guru honorer di sebuah SMP swasta di Bandar Lampung.

Medio September 2017 silam, Del genap 10 tahun mengabdi.

Meski begitu, ia masih menerima upah guru honor di bawah UMP.

"Setiap bulannya antara Rp 800 ribu sampai Rp 1 juta. Tidak tentu, tergantung jam mengajar. Itu sudah. Sebelumnya, itu sekitar Rp 600 ribu," ungkap Del, Minggu (26/11/2017).

Pemberian honor untuk satu bulan, lanjut Del, berdasarkan jumlah jam mengajar selama seminggu.

Untuk satu jam mengajar, Del menerima honor Rp 20 ribu.

"Kalau mengajar 10 jam per hari, ya bisa dapat Rp 200 ribu. Tetapi kan tidak mungkin sehari sampai 10 jam," terang Del.

Bayaran sedikit lebih baik diterima Mer (35, bukan nama sebenarnya), yang mengajar di sebuah SMP swasta di Bandar Lampung.

Meski begitu, Mer mengakui upah guru honor di bawah UMP.

Baca: Kelola Arisan Raup Rp 15 Juta per Bulan

Baca: Rata-rata Pendaftar Haji di Lampung Berusia 30-an Tahun

Alhasil, hal tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Saya menerima honor Rp 1,2 juta. Buat transportasi dari rumah ke sekolah saja, saya habis Rp 500 ribu. Buat kebutuhan sehari-hari malah kadang minus," papar Mer, Rabu (29/11/2017) .

Tak Dapat Insentif

Mer berharap ada perhatian pemerintah.

Minimal, ia bisa mendapat insentif serupa guru honor di sekolah negeri.

"Kami hanya minta pemerintah bisa perhatian kepada guru honor swasta. Kami juga berharap ada insentif dari APBD. Hitung-hitung untuk bantu uang dapur rumah," jelas Mer.

Siti pun menyerukan hal serupa.

Hingga saat ini, menurut Siti, bantuan pemerintah melalui APBD belum pernah ada untuk guru honorer di sekolah swasta.

"Kami sudah pernah menyampaikan hal tersebut langsung kepada Bapak Bupati Tulangbawang, saat berkunjung ke kampung kami, dan kebetulan (kunjungan) bertempat di sekolah. Tapi sampai sekarang belum ada perhatian," kata Siti.

"Harapan kami, ada bantuan tunjangan bagi guru di sekolah swasta, yang kesejahteraannya juga masih jauh di bawah," tambah Siti.

Serupa Mer dan Siti, Del juga mengaku belum pernah mendapatkan insentif dari pemerintah.

Tak hanya itu, pembayaran gajinya bahkan pernah beberapa kali terlambat.

"Gaji dibayar setiap tanggal 1. Kalau tanggal 1 libur, ya baru dibayarkan hari berikutnya. Pernah terlambat sampai tanggal 5. Alasan manajemen yayasan masih rekap pemasukan. Saya ya cuma bisa terima saja, yang penting dibayar," papar Del.

Tidak Bisa Intervensi

Kabid Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Lampung, Retno Setianigrum mengatakan, pemerintah tidak mengetahui alokasi maupun jumlah gaji guru honor di sekolah swasta.

Hal itu karena kewenangan pemberian gaji guru honor di sekolah swasta, berada di yayasan.

"Pemerintah tidak bisa mengintervensi maupun mengeluarkan kebijakan, jika berhubungan dengan sekolah swasta," kata Retno, Rabu (29/11/2017).

Pemerintah, lanjut Retno, pun tidak bisa melakukan tindakan, terkait besaran gaji guru honor di sekolah swasta, yang masih di bawah UMP.

"Sekali lagi, kalau swasta itu urusannya dengan yayasan. Kami tidak mencampurinya," tegas Retno.

Adapun, bantuan pemerintah hanya dilakukan melalui pemberian insentif.

Retno memastikan, insentif tak hanya diberikan kepada guru honor di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah swasta.

Tetapi, hal tersebut berlaku untuk guru SMA dan SMK yang menjadi kewenangan pemprov.

Sementara, guru SD dan SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

"Pemprov memberikan insentif Rp 200 ribu per bulan, yang dibayarkan per semester untuk guru honor, negeri maupun swasta. Kalau keuangan daerah memungkinkan, peningkatan insentif kemungkinan ada. Tetapi tetap melihat kondisi dan kemampuan keuangan daerah," jelas Retno.

Masih Dianaktirikan

Asep membantah bahwa guru honor di sekolah swasta mendapatkan insentif dari Pemprov Lampung.

"Pada 2017, pemprov memberikan insentif bagi guru honor. Tetapi, itu tidak berlaku untuk guru honor di sekolah swasta," terang Asep.

Hal tersebut, menurut Asep, memperlihatkan bahwa guru honor di sekolah swasta masih seperti "dianaktirikan" oleh pemerintah.

Belum lagi, banyak upah guru honor di bawah UMP.

"Guru honor dibayar berdasarkan hitungan jam mengajar seminggu. Satu jam mengajar itu paling tinggi Rp 20.000. Kalau cuma dapat jatah 10 jam, hanya dapat Rp 200 ribu sebulan. Dan, itu terjadi di Bandar Lampung. Bagaimana dengan daerah terpencil, itu lebih memprihatinkan," jelas Asep.

Kondisi itu terjadi, Asep mengungkapkan, lantaran banyak yayasan sekolah swasta tidak mampu membayar gaji guru.

Baca: Sejumlah Bidan di Lampung Tolak Sunat Anak Perempuan

Baca: Mobil Warna Putih Paling Banyak Dibeli di Lampung, Faktor Keamanan Jadi Pertimbangan

Sementara, pemerintah melepaskan pengelolaan pendidikan swasta ke yayasan.

"Seharusnya, pemerintah juga ikut memperhatikan kesejahteraan guru-guru di sekolah swasta," harap Asep.

Upah Guru Harus di Atas UMP

Anggota Komisi X DPR, Dwita Ria Gunadi meminta pemerintah mematuhi Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dengan memberikan upah di atas UMP buat guru, termasuk guru honor.

"Upah guru sudah diatur dalam UU itu. Pasal 14 ayat 1 huruf a UU tersebut jelas menyatakan, guru wajib mendapatkan penghasilan di atas UMP, dan berhak mendapat kesejahteraan sosial," kata Dwita, Jumat (1/12/2017).

Menurut Dwita, pemerintah selalu meminta pengusaha agar membayarkan pekerja mereka sesuai UMP.

Ironisnya, pemerintah membayarkan upah guru honor di bawah UMP.

"Kami di Komisi X terus menyuarakan dan mempertanyakan hal tersebut kepada pemerintah," tegas politisi asal Lampung tersebut.

Dwita mengungkapkan, DPR terus meminta kepada pemerintah agar mengalokasikan anggaran khusus buat guru honor.

DPR pun telah mengesahkan revisi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Salah satu poin revisi menyangkut tuntutan honorer yang meminta agar diangkat menjadi PNS," terang Dwita.

Tak Mencukupi

Guru honorer di daerah, Dwita menjelaskan, dibiayai pemerintah pusat melalui dana BOS, dan pemerintah daerah melalui BOS daerah (BOSDA).

Jumlah penerimaan BOS dan BOSDA setiap sekolah tergantung jumlah siswa yang belajar di sekolah tersebut.

"Dana BOS yang boleh digunakan untuk belanja pegawai, termasuk menggaji guru honor, juga terbatas. Dalam juknis BOS, maksimal 15 persen. Sementara, dana BOSDA buat belanja pegawai sebesar 20 persen," ucap Dwita.

Misalkan, Dwita mencontohkan, jika satu sekolah memiliki 300 siswa, dan dana BOS buat satu siswa sebesar Rp 800 ribu, maka sekolah akan menerima Rp 240 juta.

Sementara, jika dana BOSDA untuk satu siswa Rp 700 ribu, sekolah akan mendapat Rp 210 juta.

Sehingga, total dana yang diperoleh Rp 450 ribu.

"Kalau di satu sekolah itu ada 10 honorer, guru maupun tenaga kependidikan, setiap orangnya hanya mendapat gaji Rp 650 ribu per bulan. Itu masih jauh di bawah UMP," terang Dwita.

Persoalan lain mengenai kekurangan jumlah guru, Dwita menjelaskan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan sistem zonasi, dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada 2018. Sistem itu dianggap mampu mengatasi penumpukan guru di suatu wilayah ataupun sekolah.

Menurut Dwita, kekurangan jumlah guru terjadi karena penyebaran yang tidak merata.

Karena itu, pemerintah akan mulai menerapkan sistem zonasi guna mengatasi persoalan tersebut.

"Sistem zonasi ini efeknya luas, dari pemerataan guru, siswa, sarana prasarana, hingga pemberian bantuan dari pemerintah terhadap sekolah, yang akan lebih tepat sasaran. Kebijakan ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan pemerataan guru, terutama jenjang SMA/SMK," terang Dwita. (Endra Zulkarnain/Noval Andriansyah/Romi Rinando/Tri Yulianto)

Artikel berjudul Upah Guru Honor di Bawah UMP, Sukri Jual Keripik Singkong Tiap Akhir Pekan, telah diterbitkan di Laporan Liputan Khusus Koran Tribun Lampung pada 29 November-3 Desember 2017.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved