Sidang Kasus Dugaan Suap Lampura
DPRD Lampura Disebut Minta Mahar APBD, Eks Sekkab Syamsir: Rp 5 Miliar Harga Mati
Ketuk palu APBD Lampung Utara 2015 berakhir deadlock. DPRD Lampung Utara disebut minta mahar Rp 5 miliar agar APBD disahkan.
Penulis: hanif mustafa | Editor: Daniel Tri Hardanto
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Ketuk palu APBD Lampung Utara 2015 berakhir deadlock.
DPRD Lampung Utara disebut minta mahar Rp 5 miliar agar APBD disahkan.
Hal ini diungkapkan eks Sekkab Lampung Utara Syamsir saat memberikan keterangan dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek di PN Tanjungkarang, Rabu (8/4/2020).
Syamsir yang menjadi Sekkab Lampung Utara periode 2014-2018 itu menuturkan, pengesahan APBD 2015 sempat menemui jalan buntu.
• Ketua dan Wakil Ketua DPRD Lampung Utara Disebut Minta Rp 30 Miliar sebagai Syarat Sahkan APBD
• Bupati Agung Disebut Beri Perintah Pungut Fee dari Para Kepala Sekolah
• Disuruh Bupati Agung Beli Mobil, Pejabat Inspektorat Lampura Ambil Duit dari Rekanan
• Reihana: PDP Meninggal Dunia di Lampung Ternyata Istri Pasien 13
DPRD Lampung Utara mau mengesahkan APBD jika permintaannya terpenuhi.
"Jadi pada waktu itu saya baru pertama kali jadi ketua anggaran. Saya lobi ke dewan. Lalu saya temui ketua dewan dan disuruh nemui pimpinan partai. Lalu saya temui dari PDI Zainal, Demokrat Wansori, dan Gerindra Farik," bebernya.
Pertemuan dengan Wansori terjadi di sebuah kolam ikan.
"Pendek cerita dan mendengar soal ketuk palu, dia jawab ada syarat yang harus dipenuhi dan sebut ada angka sebesar Rp 5 miliar," kata Syamsir.
"Lalu saya jawab. Saya bilang, 'Dari mana uang sebanyak itu?' Bupati juga gak sampaikan untuk menyerahkan. Akhirnya gak selesai. Lalu saya disarankan ketemu Pak Zainal," imbuhnya.
Syamsir menemui Zainal di Plaza Senayan Jakarta.
Setali tiga uang, Syamsir juga menemui jalan buntu.
Menurutnya, angka Rp 5 miliar sudah jadi harga mati.
"Rp 5 miliar itu untuk pengesahan APBD 2015," sebutnya.
Syamsir pun mengadukan hal ini ke Bupati Agung Ilmu Mangkunegara.
Namun, bupati tak menyetujuinya.
"Akhirnya ketuk palu Juli 2015. Tapi panjang cerita, kami dipanggil kementerian dan juga DPR. Mendapat wejangan, masukan dari pihak provinsi untuk ketuk palu," kata Syamsir.
"Juli 2015 ketuk palu apakah ada kesepakatan?" sahut JPU Taufiq Ibnugroho.
"Saya tidak tahu apakah ada kesepakatan," jawab Syamsir.
Minta Proyek Rp 30 Miliar
Dalam sidang sebelumnya, DPRD Lampung Utara juga disebut mengajukan syarat khusus agar APBD bisa disahkan.
Salah satu syaratnya adalah permintaan proyek senilai Rp 30 miliar kepada bupati.
Hal ini diungkapkan Kepala BPKAD Lampung Utara Desyadi dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Senin (30/3/2020).
Desyadi mengatakan, dalam rangka penyusunan APBD 2016, ia telah dihubungi oleh ketua dan wakil ketua DPRD Lampung Utara.
Saksi-saksi diambil sumpah dalam persidangan perkara dugaan suap fee proyek Lampung Utara yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Senin (30/3/2020). (Tribunlampung.co.id/Deni Saputra)
"Itu dalam rangka penyusunan APBD 2016, dan saya dihubungi Arnold dan Hartono, ketua dan wakil, terkait APBD 2016," terangnya.
Desyadi mengaku ditelepon untuk menemui keduanya di rumah dinas ketua DPRD Lampung Utara.
"Yang mana minta disampaikan ke bupati (Agung Ilmu Mangkunegara) kalau kawan ini gak mau kosong," tuturnya.
Lantas, Arnold dan Hartono meminta adanya paket pekerjaan sebesar Rp 30 miliar. Lalu ditawar menjadi Rp 27,5 miliar.
"Saya sampaikan ke bupati dan beliau bilang koordinasi ke Syahbudin. Dan dalam penyusunan APBD 2017, DPRD juga minta Rp 30 miliar, dan dikasih Rp 30 miliar dalam bentuk pekerjaan," beber Desyadi.
"Apakah setelah diberikan paket pekerjaan (APBD) langsung ketok palu?" sahut JPU Taufiq Ibnugroho.
"Itu disepakati pada akhir 2016. Langsung disahkan dan diserahkan pada bulan dua 2017," tutur Desyadi.
"Terus diserahkan ke siapa paket pekerjaan itu?" tanya JPU.
"Untuk 2016 yang menyerahkan Syahbudin dan 2017 saya yang nyerahkan ke Arnold," kata Desyadi.
Sementara kuasa hukum Agung Ilmu Mangkunegara, Sopian Sitepu, menanyakan terkait tupoksi Desyadi berada di DPRD untuk melakukan lobi.
"Saya diperintah oleh ketua DPRD. Tidak ada inisiatif sendiri. (Memang) bukan tugas saya," kata Desyadi.
Desyadi mengatakan, hal itu sebagai bentuk loyalitasnya dan ia takut kehilangan jabatannya.
"Sebenarnya siapa ketua tim anggaran APBD? Apakah Anda mengambil keuntungan di situ?" tanya Sopian.
"Sekda. Saya hanya melaporkan dengan pertemuan dengan ketua dan wakil," jawab Desyadi.
"Saya tegaskan, Agung tidak menyatakan hal tersebut karena itu urusan Sekda," sanggah Sopian. (Tribunlampung.co.id/Hanif Mustafa)