Tribun Lampung Tengah
Warga Terusan Nunyai Aniaya Keponakan hingga Tewas, Kesal Tak Dapat Pinjaman Uang dari Ayah Korban
Kasus ini terungkap bermula saat warga menemukan sang keponakan, inisial F, siswa SD, di areal tobong bata dengan tubuh penuh luka di tubuh.
Polisi saat ini masih mendalami motif penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan EYT.
"Kami masih melakukan pengembangan perkara atas kasus ini. Sementara pelaku EYT kami kenakan Pasal 80 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," kata dia.
Iptu Santoso meneruskan, kepada polisi pelaku EYT mengaku kesal dengan ayah korban, Romi.
Ia kesal lantaran Romi tidak meminjamkannya uang sebesar Rp 1 juta.
Pelaku juga mengaku mendapat bisikan gaib yang yang memerintah dirinya membunuh F.
"Jadi saat hendak keluar dari rumah orangtua korban, pelaku mengaku mendapat bisikan gaib untuk membunuh F. Saat itu pelaku memanggil F, korban diajak pelaku. Pelaku ini bilangannya mau mengajarkan korban mengendarai motor," jelasnya.
Namun sampai di tobong bata areal Gang Warid, beberapa ratus meter dari rumah orangtua korban, pelaku EYT lantas menganiaya korban hingga meninggal dunia.
Sementara itu Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lampung Tengah mengutuk keras aksi pembunuhan terhadap anak di bawah umur di Terusan Nunyai.
Bahkan, lembaga tersebut meminta agar pelaku EYT dapat dihukum mati.
Ketua LPA Eko Yuono mengatakan, pihaknya mengaku terpukul atas peristiwa penganiayaan dan pembunuhan terhadap F.
Apalagi, Eko menganggap alasan pelaku EYT melakukan pembuahan sangat sepele.
"Kami sangat mengutuk pembunuhan yang dilakukan pelaku terhadap korban F. Apalagi korban ini masih anak-anak dan tidak mengetahui permasalahan antara pelaku dan ayah korban (pinjam uang)," tegas Eko Yuono.
Eko menegaskan, agar pelaku EYT mendapatkan sanksi hukuman mati, pihaknya siap mengawal kasus tersebut di persidangan.
"Kejadian ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, dan polisi harus bisa memasang pasal yang berlapis agar nantinya JPU dan majelis hakim bisa menuntut maksimal, yaitu hukuman mati," katanya. (Tribunlampung.co.id/Syamsir Alam)