Berita Lampung

Buruh di Lampung Tolak Tapera, Disnaker Tunggu Juknis dari Pusat

Kalangan pekerja dan buruh di Lampung ikut menolak Tapera. Menurut mereka, program Tapera dinilai sangat memberatkan.

Istimewa
Ketua Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia - Konfederasi Serikat Nasional Yohanes Joko Purwanto (kedua dari kanan). 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Program pemerintah pusat bernama Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ramai-ramai menuai penolakan.

Kalangan pekerja dan buruh di Lampung ikut menolak Tapera. Menurut mereka, program Tapera dinilai sangat memberatkan.

Alasannya, nilai iuran Tapera terlalu besar. Hal itu ditambah juga dengan iuran lain seperti jaminan kesehatan sebesar 1 persen, jaminan hari tua 2 persen, jaminan pensiun 1 persen, serta pajak penghasilan dan lainnya. Belum lagi upah buruh di Lampung terbilang rendah.

"Bayangin saja, upah masih di bawah Rp 3 juta, dan masih banyak yang di bawah UMR, masih ditambah lagi potongan-potongan lainnya. ini nambah lagi Tapera," kata Ketua Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia - Konfederasi Serikat Nasional Yohanes Joko Purwanto, Rabu (29/5/2024).

Menurut Joko, penerapan Tapera bakal lebih mempersulit hidup buruh.

"Meski ikut iuran begitu, buruh juga tidak dalam sekejap mendapat rumahnya," kata dia.

Pemerintah pun dinilai kurang paham dengan kondisi buruh saat ini. Dia menilai, untuk kepemilikan rumah bagi kelompok buruh, pemerintah lebih baik memaksimalkan subsidi perumahan.

"Kenapa tidak maksimalkan subsidi perumahan saja, malah membuat kebijakan yang memberatkan buruh," kata dia lagi.

Di satu sisi, Tapera diharapkan dapat membantu masyarakat memiliki rumah. Di sisi lain, pemotongan gaji dikhawatirkan dapat memberatkan pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit saat ini.

Presiden Joko Widodo telah meneken PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020. Peraturan ini mengatur tentang pemotongan gaji 2,5 persen untuk iuran Tapera.

Dinas Tenaga Kerja Provinsi Lampung masih menunggu petunjuk teknis penerapan program Tapera. Pasalnya, belum ada surat resmi dari pusat terkait Tapera.

Saat dikonfirmasi, Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Lampung Yanti Yunidar mengaku belum ada mekanisme dan petunjuk teknis terkait pemotongan gaji 2,5 persen untuk Tapera. "Sepertinya belum dibahas ya," ujar dia, Rabu (29/5/2024).

Yanti menjelaskan, Disnaker Lampung masih menunggu arahan dari pemerintah pusat terkait penerapan Tapera. Pasalnya, hingga saat ini belum ada surat resmi. "Kalau kita kan pemerintah daerah, jadi ikut kebijakan pemerintah pusat," imbuhnya.

Hingga kini, Tribun Lampung belum mendapatkan tanggapan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Lampung terkait Tapera. Saat dikonfirmasi, Ketua Apindo Lampung Ary Meizari Alfian belum merespons pesan yang dikirim. Begitu juga dari Real Estat Indonesia (REI) Lampung dan organisasi buruh di Lampung.

Sementara itu, asosiasi pekerja buruh kompak menolak Tapera yang ditetapkan pada 20 Mei 2024. Dalam aturan itu, pekerja swasta, buruh, ASN, TNI, dan Polri diwajibkan membayar iuran Tapera dengan mekanisme yang sama dengan penarikan uang setiap bulan seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menilai kebijakan pemerintah ini tidak sejalan dengan kondisi ekonomi pekerja buruh yang makin terpuruk karena dampak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang pada akhirnya membuat upah buruh semakin murah.

Belum lagi dampak Covid-19 yang masih terasa, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi di mana-mana. Kemudian lapangan pekerjaan juga minim, ditambah harga pangan melambung tinggi dan otomatis daya belinya menjadi rendah.

“Artinya, ekonomi buruh sedang tidak baik-baik saja. Di satu sisi, terbitnya PP Tapera tersebut membuat buruh kecewa karena tidak ada keterlibatan stakeholder, dalam hal ini pekerja buruh,” kata Mirah, Rabu (29/5/2024).

Menurutnya, PP Tapera minim partisipasi publik. Pemerintah tidak boleh menutup telinga atas reaksi yang terjadi.

“Waktu saya menjadi wakil ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional dari unsur pekerja tahun 2016 lalu, saya sudah mendapatkan informasi terkait Tapera ini,” ucap Mirah. “Saya sempat menyampaikan agar dilibatkan serikat pekerja untuk membahas penerbitan Tapera ini. Sebab waktu itu kayaknya masih digodok. Eh tiba-tiba tahun 2024 ini muncul PP,” tuturnya.

Mirah berpandang aturan Tapera ini terkesan memaksa rakyat untuk menabung. Menurut dia, pemerintah seharusnya menjadikan kasus Jiwasraya dan Asabri sebagai bahan refleksi diri. “Saya kira pemerintah lebih baik fokus saja bagaimana memperluas subsidi untuk pekerja buruh sebagai kelompok menengah,” beber Mirah. “Saya menduga kuat kalau Tapera ini bentuknya badan seperti BPJS Ketenagakerjaan, dan ini hanya untuk bagi-bagi kekuasaan. Untuk itu, kami menolak,” tegasnya.

Senada dikatakan Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat. Ia memandang pemerintah senang mengumpulkan uang rakyat untuk digoreng-goreng dalam berbagai instrumen investasi.

“Kita masih ingat kan kasus Asabri dan Jiwasraya yang dikorupsi belasan bahkan puluhan triliun itu? Belum lagi dana BPJS Ketenagakerjaan yang sempat rugi walau disebut unrealized loss,” ujar Jumhur.

Dia melanjutkan, iuran dipotong dari buruh 2,5 persen dan pengusaha 0,5 persen dari nilai upah atau gaji, maka dengan rata-rata upah di Indonesia Rp 2,5 juta sementara ada 58 juta pekerja formal. Artinya akan terkumpul dana sekitar Rp 50 triliun setiap tahunnya untuk dikelola oleh BP Tapera.

“Ini dana yang luar biasa besar dan pastinya menjadi bancakan para penguasa dengan cara digoreng-goreng di berbagai instrumen investasi. Sementara kaum buruh wajib setor tiap bulannya yang sama sekali tidak tahu manfaat bagi dirinya. Buruh itu sudah banyak sekali dapat potongan dalam gajinya, masa mau dipotong lagi. Kejam amat sih pemerintah ini,” tegasnya.

Beratkan Pekerja

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menolak pemberlakuan UU Tapera. Menurutnya, kebijakan tersebut justru akan memberatkan para pekerja maupun buruh. Apindo sendiri telah melayangkan surat penolakan tersebut kepada Presiden Joko Widodo.

"Sejak munculnya UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo dengan tegas keberatan diberlakukannya UU tersebut. Senada dengan Apindo, serikat buruh/pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera," kata Shinta.

Shinta menjabarkan, aturan Tapera dinilai semakin menambah beban, baik pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24 persen, sebanyak 19,74 persen dari penghasilan pekerja. "Beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar," jelas Shinta.

Kata Shinta, rincian iuran tersebut antara lain untuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan meliputi Jaminan Hari Tua 3,7 persen, Jaminan Kematian 0,3 persen, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74 persen dan Jaminan Pensiun 2 persen, Jaminan Sosial Kesehatan serta Jaminan Kesehatan 4 persen.

Cari Solusi

DPR RI bakal memanggil pihak terkait soal potongan gaji untuk iuran Tapera. Pemerintah maupun pihak buruh nantinya akan didudukkan bersama.

"DPR akan memanggil pihak-pihak dari pelaksanaan itu. Semua ada bank tabungan, pihak-pihak buruh dan dari pemerintah," ucap Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

Dengan begitu, ia pun berharap kedua belah pihak bisa mencari solusi mengenai kebijakan baru tersebut. Sebab, aturan tidak boleh memberatkan masyarakat di tengah ekonomi yang melemah.

"Jangan memberatkan, apalagi di tengah ketidakberdayaan ekonomi kita. Oleh itu, kita harus evaluasi dan tidak membuat letupan baru," ungkapnya.

Lebih lanjut, Cak Imin sepakat dengan anggapan kebijakan itu nantinya akan memberatkan para karyawan. "Kalau lihat nuansa ekonomi kita hari ini semua keberatan," pungkasnya. (tribun network/bel/igm/mat/wly)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved