Jelang Pilkada 2024, Gen Z di Bandar Lampung Masih Rentan Terjerat Hoaks

“Satu sisa bisa menjadi penyampai aspirasi, tapi di sisi lain informasi yang disampaikan belum tentu benar,” kata dia. 

Karena itu, KPU memilih untuk menyesuaikan pendekatan yang dilakukan berdasarkan segmentasi pasarnya. Upaya tersebut diwujudkan dalam pembuatan konten khas generasi masa kini. Mulai dari penggunaan bahasa yang mudah dimengerti, musik serta video yang ciamik. 

“Kadang 5 detik aja udah kita klik lewati, nah itu sebenarnya jadi tantangan kita dalam mengemas materi yang menarik tapi padat,” katanya.  

Meski demikian, Dedy menyebut hoaks hanyalah sebagian kecil dari masalah yang dihadapi KPU saat ini. Sebab, aspek lainnya seperti kepercayaan lembaga dan peningkatan partisipasi pemilih tetap menjadi tujuan utama. 

“Tugas kita bukan hanya hoaks, tapi semuanya,” kata dia. 

“Yang menjadi PR kita adalah meningkatkan partisipasi karena tidak berbanding lurus dengan pileg,” sambungnya. 

Dedy memaparkan, tingkat partisipasi pilkada dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pilkada Bandar Lampung 2015, tingkat partisipasinya mencapai 66 persen. Sedangkan pada pilkada 2020, tingkat partisipasinya naik menjadi 69 persen. 

“Nah tahun ini kita harapkan bisa naik lagi,” ucap dia. 

“Ini masih menjadi PR kita semua, tapi KPU terus berupaya melakukan sosialisasi, literasi dan edukasi,” sambung Dedy.

Ihwal pernyataan tersebut, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Lampung Andy Corry Wardhani tidak sepakat. Ia berujar, hoaks bukanlah masalah remeh-temeh. 

“Jika masyarakat memilih dengan informasi yang tidak benar, justru ini akan memberikan dampak besar,” kata dia, Kamis (13/6/2024).

Andy Corry menambahkan, seluruh lapisan masyarakat harus saling bahu-membahu membasmi menjamurnya hoaks. Hal ini meliputi individu yang bersangkutan, orangtua, guru, dosen, penyelenggara maupun pengawas jalannya pemilu. 

( TRIBUNLAMPUNG.CO.ID / KIKI NOVILIA )