Berita Terkini Nasional

Kejagung Pastikan Banding atas Vonis Harvey Moeis, Usai Disentil Presiden Prabowo

Kejaksaan Agung atau Kejagung memastikan sudah mengajukan banding atas putusan ringan yang diterima terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis.

Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
Konferensi pers Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar (tengah) terkait pencapaian kinerja Kejagung RI selaka tahun 2024, Selasa (31/12/2024). | Kejaksaan Agung atau Kejagung memastikan sudah mengajukan banding atas putusan ringan yang diterima terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis. Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto juga menginstruksikan agar Kejagung mengajukan banding atas putusan Harvey Moeis yang dinilai terlalu ringan yakni 6,5 tahun. 

Tribunlampung.co.id, Jakarta - Kejaksaan Agung atau Kejagung memastikan sudah mengajukan banding atas putusan ringan yang diterima terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto juga menginstruksikan agar Kejagung mengajukan banding atas putusan Harvey Moeis yang dinilai terlalu ringan yakni 6,5 tahun.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, memastikan, pihaknya mendukung pernyataan Presiden Prabowo Subianto supaya koruptor tak diberi hukuman ringan.

Hal itu disampaikan Harli Siregar dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/12/2024).

"Kami sangat responsif terkait dengan pernyataan beliau ya pernyataan Bapak Presiden yang menyatakan bahwa vonis atau putusan pengadilan terkait dengan terdakwa HM (Harvey Moeis) yang masih sangat begitu ringan dibanding dengan tuntutan yang disampaikan oleh penuntut umum."

"Oleh karenanya, kami berkomitmen dan sesungguhnya kami sudah melakukan upaya hukum ya melakukan banding dan sudah didaftarkan di pengadilan," tutur Harli.

Menurutnya, saat ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) sedang fokus menyusun dalil-dalil terkait memori banding.

"Kami berkomitmen walaupun barangkali salinan putusannya masih kita tunggu, tapi karena ada catatan persidangan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka itu juga bisa kita jadikan sebagai pedoman ya sebagai dasar untuk menyusun dalil-dalil yang yang kita sampaikan." 

"Karena kita tahu bahwa dari sisi strachmat (lama tuntutan) yang diajukan bahwa penuntut umum menuntut yang bersangkutan 12 tahun, tapi hanya diputus dengan 6,5 tahun," ucapnya.

Harli kembali menekankan bahwa pihaknya mendukung apa yang disampaikan Prabowo.

"Dan kita responsif melakukan upaya-upaya untuk banding terhadap itu," terang Harli Siregar.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto meminta majelis hakim yang menangani kasus korupsi untuk memberi hukuman yang tidak terlalu ringan kepada para koruptor.

Menurutnya, jika ada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara ratusan triliun rupiah, maka seharusnya pelaku diganjar dengan hukuman berat, bahkan kalau perlu diganjar hukuman 50 tahun penjara.

Hal itu disampaikan Prabowo saat memberikan arahan di acara musyawarah rencana pembangunan nasional tahun 2025-2029 Bappenas pada Senin (30/12/2024).

Prabowo menilai koruptor yang menyebabkan kerugian negara secara besar, sangat pantas untuk dihukum secara berat. 

"Terutama juga hakim-hakim, vonisnya jangan terlalu ringan lah," ucap Prabowo.

Prabowo mengaku heran kasus yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun, tetapi terdakwanya hanya dihukum ringan. 

Menurut Prabowo, rakyat Indonesia kini tidak bodoh. Publik mengerti akan hal itu. 

"Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi. Tapi rakyat ngerti, rakyat di pinggir jalan ngerti, rampok ratusan triliun vonisnya sekian tahun." 

"Ada yang curi ayam dihukum berat dipukuli. Ini bisa menyakiti rasa keadilan. Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV," ujarnya.

Oleh sebab itu, dirinya meminta Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto memperhatikan soal ini.

“Tolong, Menteri Pemasyarakatan, ya," ujarnya.

Prabowo mengatakan dirinya tidak menyalahkan siapa pun. Ia hanya ingin semua unsur pemerintah termasuk aparat penegak hukum memperbaiki diri. 

Pasalnya, sambung Prabowo, rakyat Indonesia sekarang ini tidak bodoh. 

"Ini kesalahan kolektif kita, mari kita bersihkan, makanya saya katakan aparat pemerintahan kita gunakan ini untuk membersihkan diri untuk membenahi diri sebelum nanti rakyat yang membersihkan kita lebih baik kita membersihkan diri kita sendiri." 

"Rakyat Indonesia sekarang tidak bodoh mereka pintar-pintar semua orang punya gadget sudah lain ini bukan 30 tahun yang lalu ini bukan 20 tahun yang lalu," paparnya.

Mahfud MD Sebut Vonis Harvey Moeis Tak Logis

Mantan Menteri Koodrinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyebut ada yang tak logis dari vonis yang diberikan pada Harvey Moeis.

Diketahui, Harvey Moeis sebagai terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah, divonis lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Suami Sandra Dewi tersebut hanya divonis penjara 6 tahun 6 bulan.

Tak hanya itu, ia juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar.

Uang pengganti itu harus diberikan ke negara paling lama 1 bulan setelah putusan hakim.

Sementara sebelumnya, JPU menunut Harvey Moeis dipenjara selama 12 tahun.

Padahal, Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama hingga merugikan negara mencapai Rp300 triliun.

Vonis di atas membuat Mahfud MD tersentak.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut bahkan menyebut vonis Harvey Moeis tak logis dan mencederai rasa keadilannya.

Hal tersebut dituliskan dalam akun X @mohmahfudmd pada Kamis (26/12/2024).

"Tak logis, menyentak rasa keadilan."

"Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU Rp300T."

"Oleh jaksa hanya dituntut 12 tahun penjara dengan denda 1 M dan uang pengganti hanya dengan Rp210 M."

"Vonis hakim hny 6,5 thn plus denda dan pengganti dgn total Rp212 M. Duh Gusti, bagaimana ini?" tulis @mohmahfudmd.

Kritikan tersebut sudah mendapatkan lebih dari 150 ribu penayangan dalam tiga jam. Ada tujuh ribu pengguna X yang menyukai cuitan Mahfud MD.

Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim, Eko Aryanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (23/12/2024), telah membacakan vonis.

Ia juga menjelaskan alasan Harvey Moeis mendapatkan vonis lebih rendah daripada tuntutan JPU.

Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP.

Selain itu, Harvey juga dianggap Hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Menjatuhkan terhadap terdakwa Harvey Moeis oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan," ucap Hakim Eko di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

Selain hukuman pidana badan, Harvey Moeis juga divonis pidana denda sebesar Rp1 miliar di mana apabila tidak mampu membayar, maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

Tak hanya itu, Harvey Moeis juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar.

Namun, apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta benda Harvey dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti.

"Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun," jelas Hakim.

"Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun kepada terdakwa Harvey Moeis, Majelis hakim mempertimbangkan tuntutan pidana penjara tersebut terlalu berat," ucap Hakim di ruang sidang.

Salah satu pertimbangannya, Eko menganggap Harvey selama di persidangan beralasan hanya membantu Suparta selaku Direktur PT Refined Bangka Tin dalam kerjasama dengan PT Timah Tbk.

"Karena terdakwa memiliki pengalaman mengelola usaha tambang batu bara di Kalimantan," kata Hakim.

Selain itu, Hakim juga mempertimbangkan posisi Harvey Moeis di PT RBT yang tidak tergabung dalam kepengurusan di perusahaan.

Sehingga kata Eko, Harvey bukan pembuat keputusan kerjasama antara PT Timah Tbk dan PT RBT serta terdakwa dinilai tidak mengetahui administrasi dari keuangan di kedua perusahaan tersebut.

"Bahwa dengan keadaan tersebut terdakwa tidak berperan besar dalam hubungan kerja sama peleburan timah antara PT timah TBK dan PT RBT maupun dengan para pengusaha smelter peleburan timah lainnya yang menjalin kerja sama dengan PT timah TBK," jelasnya.

Alhasil, majelis hakim pun berpandangan hukuman pidana yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa harus dikurangi.

Pengurangan hukuman itu bahkan bukan berlaku hanya untuk Harvey. Kata Hakim, hal itu juga berlaku untuk dua terdakwa lain yakni Suparta dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.

Pasalnya, menurut dia, dalam fakta persidangan diketahui PT RBT bukan merupakan penambang ilegal yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah.

Perusahaan smelter swasta itu dianggap Hakim memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sendiri dalam menjalankan bisnis timahnya.

"Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut sehingga majelis hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang diajukan penuntut umum terhadap 3 terdakwa Harvey Moeis, Suparta, Reza terlalu tinggi dan harus dikurangi," pungkasnya.

( Tribunlampung.co.id / Tribunnews.com )

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved