Mahasiswa FEB Unila Meninggal
Babak Baru Diksar Maut, Polda Lampung Telusuri Kematian Mahasiwa Unila
Dirreskrimum Polda Lampung Kombes Pahala Simanjuntak membenarkan pihaknya tengah mendalami peristiwa diksar Mahepel Unila yang menewaskan Pratama.
Penulis: Bayu Saputra | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Kasus kematian Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, memasuki babak baru.
Itu setelah Polda Lampung mulai menelusuri kasus tersebut.
Dirreskrimum Polda Lampung Kombes Pahala Simanjuntak membenarkan pihaknya tengah mendalami peristiwa diksar Mahepel Unila yang menewaskan Pratama.
"Saat ini kami masih menelusuri kematian mahasiswa FEB Unila tersebut," kata Pahala Simanjuntak saat dihubungi Tribun Lampung, Senin (2/6/2025).
Menurut dia, polisi berinisiatif untuk melakukan pendalaman demi mengungkap kasus ini.
"Kami berinisiatif mendatangi pihak keluarga untuk mencari informasi dengan mengumpulkan baket (bahan keterangan)," lanjutnya.
"Jadi perlu diluruskan. (Polisi) Bukan menunggu laporan, tetapi polisi inisiatif dari semalam melakukan pendalaman," imbuhnya.
Mengalami Penyiksaan
Seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila mengaku disiksa saat mengikuti kegiatan pendidikan dasar (diksar) organisasi kemahasiswaan Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel).
Bahkan, akibat penyiksaan yang diduga dilakukan kakak tingkat itu berujung tewasnya seorang mahasiswa jurusan Bisnis Digital bernama Pratama Wijaya Kusuma.
Diketahui, kegiatan diksar Mahepel FEB Unila itu berlangsung pada 11-14 November 2024.
Setelah mendapat perawatan, Pratama akhirnya meninggal dunia pada 28 April 2025.
Seorang mahasiswa FEB yang juga menjadi peserta diksar Mahepel, Muhammad Arnando Al Faaris, menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya selama mengikuti kegiatan tersebut.
Faaris yang juga rekan korban mengakui terjadinya penyiksaan terhadap dirinya serta sejumlah rekannya, termasuk Pratama.
"Saya berusaha melaporkan kekerasan yang terjadi yang dilakukan oleh kakak tingkat di Mahepel," kata Faaris di depan kantor KONI Lampung, Kamis (29/5/2025).
"Saya sendiri mengalami dan saya mengharapkan ada keadilan, tapi malah saya mendapatkan tekanan," sambungnya.
Ia mengatakan, dirinya malah dicap oleh kakak tingkat dan kampus sebagai pembuat masalah.
"Saya meminta bantuan kepada mereka, tapi mereka tidak mau membantunya," ujar Faaris.
Dia juga diperintahkan menandatangani surat agar tidak cerita ke siapa pun.
"Saya tidak ikhlas dengan apa yang terjadi. Saya kecewa dengan sikap kampus, makanya saya keluar Unila," kata Faaris.
Faaris menceritakan awal mula ia mendapatkan penyiksaan tersebut. Berawal saat ia dan 5 rekannya tiba di Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran.
Pada 11 November 2024 itu, ia berkumpul pukul 10.00 WIB di Unila dengan membawa tas yang berat.
Peserta diksar berjumlah 6 orang yakni dirinya, bersama Pratama Wijaya Kesuma (S1 Bisnis Digital), Sukril Kamal (S1 Ekonomi Pembangunan).
Kemudian Audra Raja Pratama (S1 Ekonomi Pembangunan), Baginda Sae Winsang (S1 Manajemen), dan Julio Rangga Balista (S1 Manajemen).
"Kami dikumpulkan di Desa Talang Mulya, HP dan dompet dikumpulkan. Mulai kegiatan harus menyelesaikan dengan datang berenam dan pulang berenam," kata Faaris.
Menurutnya. peserta diksar melakukan perjalanan sampai 15 jam lamanya dengan berjalan kaki mendaki, membawa tas, dan minim istirahat.
Akibatnya peserta tidak kuat dan mulai muntah dan kaki lemah.
"Tidak bisa pulang duluan atau istrahat panjang, istirahat hanya saja 5-30 menit. Jadi dalam perjalanan, teman saya kakinya sudah tidak kuat lagi karena membawa tas gunung yang berat. Bukannya beban dikurangi tapi malah kasih tongkat untuk berjalan," kata Faaris.
Ia mengatakan, meskipun kaki gemetaran dan susah berdiri, mereka memaksakan diri sampai ke tujuan.
"Kalau kami salah disuruh push up dengan 8 seri hukuman, 1 seri 25 kali push up dan itu kami harus melakukannya. Padahal 6 orang ini fisiknya berbeda-beda," imbuhnya.
Faaris mengatakan, korban Pratama memiliki fisik yang lemah di antara peserta lainnya.
Pada hari pertama saat melepas sepatu, kata Faaris, sudah terlihat kaki Pratama luka dan saat menurunkan tas gunung yang digendong, terlihat merah di bagian punggungnya.
"Kami juga harus bangun tenda dengan kayu ranting. Kalau tidak hafal yel-yel akan dihukum push up lagi," tambahnya.
Menurutnya, panitia diksar selalu menyalahkan dirinya sebagai pemimpin karena tidak becus memimpin rombongan.
Pada suatu malam mereka dihukum seperti ditampar hingga 34 kali push up.
"Panitia diksar bilang jangan berpura-pura lemah. Pratama paling lemah yang paling banyak dapat penyiksaan," tutur Faaris.
Malam-malam selanjutnya ia dan lima temannya terus mengalami kekerasan.
"Saya tidak kuliah lagi di Unila dan sekarang berusaha cari kuliah lagi, kalau saya di sana tetap nilai dikendalikan dosen. Saya masuk Unila melalui jalur tes tertulis SBMPTN. Saya sudah lepas dari Unila merasa bebas," tambahnya.
Ia mengatakan, dirinya berharap ke depan kejadian yang ia alami tidak terulang.
"Karena masalah ini pengkaderan menggantikan kekerasan fisik dan seharusnya tidak ada lagi. Tetapi alumni selalu ikut, diharapkan Mahepel dibekukan," pungkas Faaris.
(Tribunlampung.co.id/Bayu Saputra)
Makam Mahasiswa Unila Korban Diksar Dibongkar |
![]() |
---|
Pembongkaran Makam Mahasiswa Unila Korban Diksar Maut Dilakukan 4 Orang Durasi 30 Menit |
![]() |
---|
Ayah Mahasiswa Unila Korban Diksar Maut Minta Pelaku Dihukum Setimpal: Seperti Ini Jangan Ada Lagi |
![]() |
---|
Ibu Mahasiswa Unila Korban Diksar Maut Tak Hadiri Ekshumasi |
![]() |
---|
Ekshumasi Makam Mahasiswa Korban Diksar Maut FEB Unila Memakan Waktu 4 Jam |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.