Aksi Tolak Omnibus Law di Metro
LMND Ajak Semua Pihak Tolak RUU Omnibus Law yang Dinilai Cacat Hukum
Ia meminta semua pihak, tidak hanya buruh dan mahasiswa, turut menolak RUU Omnibus Law yang cacat hukum dan tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat
Penulis: Indra Simanjuntak | Editor: Reny Fitriani
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, METRO - Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung mengaku RUU Omnibus Law adalah episode lanjutan kegagalan revisi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003.
"Revisi UU Ketenagakerjaan selalu gagal akibat gelombang penolakan yang begitu besar dari masyarakat. Terkhusus kaum buruh. Ini upaya pemerintah yang ingin memberi karpet merah kepada investor," beber Ketua Wilayah LMND Lampung Kristin, Kamis (13/2/2020).
Karenanya, ia meminta semua pihak, tidak hanya buruh dan mahasiswa, turut menolak RUU Omnibus Law yang cacat hukum dan tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
"Ini akan mencelakakan kami, mahasiswa, dan generasi selanjutnya," tandasnya.
Menciderai Hak Masyarakat
• Ini 6 Poin Tuntutan Serikat Buruh Terkait Omnibus Law
• BREAKING NEWS Serikat Buruh Geruduk Kantor DPRD Metro Tolak Omnibus Law
• BREAKING NEWS Polresta Bandar Lampung Musnahkan 257 Knalpot Racing Hasil Razia
• BREAKING NEWS Sidang Pembelaan, Hendra Wijaya Sedikit Tegang, Candra Safari Santai
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung menilai RUU Omnibus Law cacat aturan karena tidak melibatkan masyarakat.
Ketua Wilayah LMND Lampung Kristin menilai RUU Omnibus Law menciderai hak masyarakat.
Karena tidak demokratis sama sekali.
Dari ratusan satgas RUU Omnibus Law, tidak ada sama sekali perwakilan dari masyarakat.
"Isinya dari pemerintah, kadin, dan pengusaha," ungkapnya saat audiensi dengan DPRD Kota Metro, Kamis (13/2).
Ia mengaku, sistem pembayaran pada RUU Omnibus Law sendiri sangat merugikan kaum buruh.
Dimana sistem pengupahan diberlakukan per jam.
"Aturan ini pun juga sangat tidak berpihak terhadap buruh perempuan. Dengan sistem pembayaran per jam, tentu kaum buruh perempuan yang harus menjalani masa melahirkan dan semua urusan perempuan yang memakan waktu bekerja, tidak akan bisa mendapatkan upah yang layak," terangnya.
Padahal, terus Kristin, dalam UU ketenagakerjaan telah diatur cuti melahirkan.
Saat ini, apa yang menjadi hak buruh belum tercapai.
Namun pemerintah sudah ingin mengesahkan aturan yang merampas hak buruh.
"Kami minta kembalikan hak-hak buruh sesuai aturan Ketenagakerjaan, seperti yang tertera pada PP 78 tentang pengupahan. Harapan kami hadir di sini agar wakil rakyat dapat menolak RUU ini," tuntasnya.
6 Poin Tuntutan
Federasi Serikat Buruh Karya Utama-Konfederasi Serikat Nasional (FSBKU-KSN) menuntut enam poin terkait UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Ketua FSBKU Kota Metro Agus Fitra menjelaskan, enam poin tuntutan adalah menciptakan fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Dimana pengusaha dapat mengalihkan hubungan kerja ke pihak lain.
"Kedua menghilangkan upah minimum. Diganti dengan sistem per jam. Selanjutnya soal mengurangi bahkan menghilangkan pesangon dan mempermudah PHK," paparnya, Kamis (13/2/2020).
Adapun tuntutan keempat terkait lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi tenaga kerja asing.
Ia menambahkan, RUU Omnibus Law juga menghapus pidana ketenagakerjaan.
"Dan keenam terkait jaminan sosial yang terancam hilang. Ini karena sistem kerja yang fleksibel," imbuhnya.
Geruduk Kantor DPRD Metro
Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) menggelar aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law atau aturan Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPRD Kota Metro.
Ketua FSBKU Tri Susilo mengatakan, Rancangan UU Omnibus Law cacat hukum dan tidak memberikan kepastian perlindungan kepada para pekerja.
Aturan tersebut akan menindas para buruh jika diberlakukan.
"Karena itu, kami meminta DPRD Kota Metro dapat mendukung agar UU Omnibus Law atau aturan Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) ini ditolak. Intinya kami minta Dewan dapat bersinergi dengan kami untuk menolak aturan ini," bebernya, Kamis (13/2/2020). (Tribunlampung.co.id/Indra Simanjuntak)